• English
  • Bahasa Indonesia

Pakar Hukum Dorong Bawaslu Ajukan ‘Judicial Review’ UU Pilkada

Ketua Bawaslu Abhan (kiri) bersama Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Analisis Hukum Kewenangan Bawaslu Dalam Pelaksanaan Pilkada Dari Perspektif UU 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016 di Jakarta, Rabu 17 Juli 2019/Foto: Irwansyah

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum – Bawaslu didorong melakukan judicial review UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, kewenangan Bawaslu banyak memiliki perbedaan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Hal tersebut diungkapkan sejumlah pakar hukum tata negara  saat acara Focus Group Discussion (FGD) Analisis Hukum Kewenangan Bawaslu Dalam Pelaksanaan Pilkada Dari Perspektif UU 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016 di Jakarta, Rabu (17/7/2019).

Baca juga: Bawaslu Jelaskan Perbedaan TSM Berdasarkan UU Pilkada dan UU Pemilu

Beberapa pakar hukum tata negara tersebut diantaranya Direktur Pusat Pengajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggoro, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riwanto, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.

Bayu Dwi Anggoro Direktur Puskapsi Universitas Jember menyatakan, ada ruang untuk Bawaslu melakukan judicial review ke MK terkait persoalan dua UU ini. “Demi proses demokrasi yang lebih baik, kami dukung Bawaslu menerbitkan beberapa opsi, salah satunya judicial review ke MK.

“Kami para dosen yang hadir dalam acara ini mendukung secara penuh Bawaslu lakukan judicial review ke MK,” ujarnya.

Menjawab hal tersebut, Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengamini dorongan buat Bawaslu guna melakukan judicial review  ke MK. Menurutnya, memang banyak perbedaan yang harus disinkronkan terkait kewenangan Bawaslu yang diatur dalam UU Pilkada maupun UU Pemilu. Salah satunya terkait nama Panwaslu dan Bawaslu untuk tingkat kabupaten/kota.

Baca juga: Upaya Cepat Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu 

Fritz menjelaskan, upaya judicial review tujuan utamanya untuk melakukan sinkronisasi sesuai UU 7 Tahun 2017 yang sama pengertiannya dengan UU 10 Tahun 2016. Sebab dia meyakini, dasar UU yang muncul belakangan (terbaru) secara tidak langsung mengubah UU sebelumnya.

“Apakah yang sudah diatur oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang kewenangan Bawaslu akan ada kemunduran dalam Pilkada 2020? Ini pekerjaan rumah berat Bawaslu. Mungkin langkah yang tepat Bawaslu yaitu judicial review ke MK seperti yang disampaikan teman-teman ini. Tapi semua tergantung hasil pleno seluruh pimpinan Bawaslu RI nanti,” urai Fritz.

Perbedaan lainnya yang terdapat dalam dua UU tersebut, lanjutnya, tentang pelanggaran dengan unsur terstruktur sistematis dan masif (TSM). Fritz bilang, TSM sesuai UU Pilkada hanya untuk politik uang, tapi dalam UU 7 Tahun 2017 TSM bisa mengenai tentang pelibatan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Selain itu, dia menjabarkan, dalam UU Pilkada sebutan nama pengawas di tingkat kabupaten/kota maish bernama Panwaslu, bukan Bawaslu yang sudah secara kelembagaannya sekarang sudah permanen. “Pertanyaannya, apakah bisa langsung menyatakan Panwaslu yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah Bawaslu yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017? Ini yang harus dipikirkan bersama,” tuturnya.

Baca juga: Bawaslu Berikan Masukan Rancangan PKPU Tahapan Pilkada 2020 

Sedangkan Ketua Bawaslu Abhan menyebutkan, mekanisme soal penanganan pelanggaran. Menurut Abhan jelas sangat berbeda terutama dari aspek waktu. Dalam UU 7 Tahun 2017 menurutnya batas waktu penanganan pelanggaran yaitu 14 hari kerja, sedangkan di UU 10 Tahun 2016 batas waktunya 5+2 hari kalender.

Kewenangan lain yang diamanatkan UU 7 Tahun 2017 ke Bawaslu, sebutnya, yaitu penanganan pelanggaran administratif pemilu melalui proses ajudikasi yang dilakukan secara terbuka. “Jadi seluruh penanganan pelanggaran administratif pemilu prosesnya ajudikasi, sebagai quasi peradilan. Dan output-nya putusan,” imbuhnya.

Hal tersebut terang Abhan berbeda dengan UU 10 tahun 2016 yang proses penanganan pelanggarannya tertutup, belum berbentuk sebagai quasi peradilan, dan sebatas melakukan klarifikasi pihak terlapor dan pelapor lalu saksi jika diperlukan dengan out put berupa rekomendasi.

“Menurut saya ini kan dua hal berbeda antara produk putusan dan rekomendasi. Bahkan di UU 7 Tahun 2017 jika KPU tidak menjalankan putusan maka dianggap melanggar kode etik. Sementara rekomendasi kekuatan eksekutor-nya tidak terlalu kuat,” jelas Abhan

Dirinya meyakini, jika dibandingkan dengan penanganan pelanggaran administratif pilkada, kewenangan ajudikasi dalam penanganan pelanggaran administratif pemilu jauh lebih efektif. “Artinya seluruh persoalan proses bisa diselesaikan di Bawaslu,” pungkasnya.

Editor: Ranap Tumpal HS

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu