• English
  • Bahasa Indonesia

Upaya Cepat Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Ketua Bawaslu RI Abhan didampingi oleh dua Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar dan Rahmat Bagja saat membacakan kesepakatan mediasi Partai Berkarya dan Partai Garuda dengan KPU di Gedung Bawaslu, Sabtu 23 Desember 2017/Foto: Muhtar

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum –Kewenangan Bawaslu makin membesar lewat amanah UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Tak hanya menjadi pengawas, Bawaslu pun punya kewenangan sebagai pengadil pemutus perkara kepemiluan. Salah satunya terkait Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) yang didefinisikan Pasal 466 UU Pemilu 7/2017 sebagai sengketa proses sebagai sengketa yang terjadi antara calon maupun peserta pemilu dengan keputusan KPU selaku penyelenggara pemilu.

Peran Bawaslu dalam memutuskan PSPP adalah sebagai quasi pengadilan. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam kata pengantar buku berjudul Putih Hitam Pengadlilan Khusus yang diterbitkan Komisi Yudisial, lembaga-lembaga yang bersifat mengadili, tetapi tidak disebut sebagai pengadilan merupakan bentuk quasi pengadilan atau semi pengadilan.

Kewenangan menangani sengketa proses pemilu yang dipunya Bawaslu ini tentu berbeda dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kewenangan MK yang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat dalam empat domain. Pertama, kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, kedua memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan ketiga memutus pembubaran partai politik. Keempat, kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemlu. Dengan begitu, MK tidak berwenang menangani sengketa proses pemilu.  

Putusan Bawaslu menyangkut sengketa proses pemilu misalnya meloloskan beberapa partai politik yang tak lolos dalam proses verifikasi peserta pemilu 2019. Bawaslu mengabulkan gugatan pemohon dari perwakilan tiga partai yakni Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Idaman, dan Partai Bulan Bintang (PBB) terkait tata cara dan prosedur pendaftaran partai politik calon peserta pemilu. Putusan sidang ajudikasi, yang dibacakan Rabu (15/11/2017), Bawaslu memutuskan KPU melakukan pelanggaran adminitrasi pemilu. 

Dalam kesimpulannya, majelis sidang yang diketuai Abhan mengatakan, sistem informasi partai politik (Sipol) yang digunakan KPU sebagai dasar penilaian keterpenuhan persyaratan pendaftaran, tidak berdasar. KPU pun diperintahkan memperbaiki tata cara dan prosedur pendaftaran parpol dengan menerima dokumen pendaftaran sesuai ketentuan Pasal 176 dan Pasal 177 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Hanya pada tahapan selanjutnya, Partai Idaman akhirnya tak lolos sebagai peserta Pemilu 2019. 

Baca juga: Cegah Sengketa dengan Pemilu Berintegritas

Lalu, dalam hasil verifikasi pada 17 Februari 2018, KPU memutuskan PBB tak lolos sebagai peserta pemilu 2019. Bawaslu dalam sidang putusan ajudikasi, Minggu (4/3) akhirnya  meloloskan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai peserta Pemilu 2019. "Menyatakan PBB memenuhi syarat mengikuti Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewam Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota Tahun 2019," kata Ketua Bawaslu Abhan.

Putusan ini juga terkait proses penetapan peserta pemilu untuk Partai Berkaya dan Partai Garuda. Kedua partai ini akhirnya lolos sebagai peserta pemilu 2019 dalam verifikasi faktual KPU, setelah putusan mediasi yang digelar Bawaslu. Partai Garuda diberikan waktu 1×24 jam dan Partai Berkarya 2×24 jam untuk melengkapi kekurangan dalam bentuk penyerahan dokumen ke Sipol milik KPU. Hal ini berdasarkan surat Nomor 002/PS.REFG/Bawaslu/XII/2017 sebagai putusan mediasi yang dinaungi Bawaslu. 

Baca juga: Hadapi Pemilu 2019, Bawaslu Jalankan Fungsi Penyelesain Sengketa Pemilu

Bawaslu punya lima tugas saat melaksanakan PSPP. Mulai dari menerima permohonan, melakukan verifikasi secara formil dan materiil permohonan sengketa proses pemilu. Kemudian, melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa. Tugas keempat, melakukan proses ajudikasi PSPP. Dan terakhir, memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.

Perlu diketahui, ajudikasi merupakan cara penyelesaian konflik atau sengketa melalui pihak ketiga yang mana pihak ketiga ini ditunjuk atau diatur berdasarkan UU untuk menetapkan suatu keputusan yang bersifat mengikat.

Berdasarkan Pasal 469 UU Pemilu 7/2017 ini, putusan sidang ajudikasi Bawaslu merupakan putusan yang bersifat final. Namun, putusan bersifat final dan mengikat itu mendapat pengecualian terhadap tiga hal, yaitu: verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan penetapan pasangan calon. Akibatnya, untuk ketiga pengecualian tersebut, maka terbuka celah para pihak yang tak puas terhadap putusan Bawaslu melakukan koreksi putusan lewat pengajuan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Baca juga: Putusan-putusan Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menyatakan, berdasarkan sejarah di Indonesia, sudah tiga kali terjadi perubahan kewenangan menangani sengketa proses pemilu. Hal tersebut dia ungkapkan dalam diskusi kelompok panel Konferensi Hukum Tata Negara Kelima yang berlangsung di Batusangkar, Sumatra Barat, Sabtu (10/11/2018).

Fritz bercerita, kewenangan PSPP kali pertama lewat jalur PTUN. Apabila salah satu pihak tak terima putusan PTUN, maka bisa dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa proses pemilu ini pun bisa banding hingga ke meja Mahkamah Agung (MA) sehingga mencapai putusan inkracht atau berkekuatan hukum tetap.

Perubahan kewenangan PSPP kedua, lanjutnya, terjadi ketika UU Pilkada lahir. Keberatan terhadap SK KPU bisa diajukan ke Bawaslu. Dari putusan Bawaslu ini prosesnya pun masih bisa dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, kemudian bisa naik banding hingga ke MA.

Barulah saat ini, kewenangan ketiga terjadi setelah terbitnya UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. “Jika salah satu dari tiga pengecualian itu terjadi, maka pihak yang tak menerima putusan Bawaslu, dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN,” sebutnya.

Nah menurut Fritz, putusan PTUN sebagai pengadilan umum pertama ini sudah bersifat final dan mengikat sesuai Pasal 471 ayat (7) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Sehingga, upaya hukum banding hingga ke tingkat MA ditiadakan. “Jadi, sengketanya berakhir di PTUN,” jelasnya.

Baca juga: Bawaslu Delegasikan Penyelesaian Sengketa On The Spot Kepada Panwascam

Dalam mengani sengketa proses pemilu, hingga Oktober 2018, Bawaslu mencatat telah menerima sebanyak 502 kasus sengketa proses Pemilu 2019 yang tersebar di seantero Indonesia.  Fritz menyebut, dari 502 sengketa proses Pemilu, rinciannya: 21 pemohonan dinyatakan gugur, 218 kasus mencapai kesepakatan dalam mediasi, 52 permohonan dikabulkan sebagian, 97 permohonan putusannya dikabulkan seluruhnya, 73 permohonan ditolak, dan 41 sedang diproses.

Upaya Penyelesaian Secara Cepat

Bawaslu menekankan pencegahan dan mediasi sebagai solusi atas potensi tumbuhnya konflik politik yang tidak berkesudahan. Bawaslu tampil ekstra dalam menghadirkan peran dan eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas. Sebab, tak bisa dipungkiri, pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh berpotensi menciptakan pemilu tak sesuai aturan.

Upaya menghadirkan solusi dalam mediasi ini pun diturunkan jajaran Bawaslu hingga tingkat Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Putusan PSPP Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota pun sifatnya mengikat. Misalnya pada Senin (8/10/2018) Partai Hanura Kota Madiun akhirnya tidak jadi dicoret dari kontestasi Pemilu 2019. Solusi ini keluar setelah Bawaslu Kota Madiun melakukan sidang mediasi PSPP antara KPU Kota Madiun dengan pengurus Partai Hanura Kota Madiun.

Baca juga: Tiga Elemen untuk Suksesnya Pemilu 2019

Memang dalam proses PSPP sendiri, Bawaslu berupaya melakukan penyelesaian secara cepat, namun tetap menjunjung asas keadilan. Dalam Pasal 664 UU Nomor 7/2017 disebutkan, Bawaslu punya wewenang memeriksa prosedur teknis pelaksanaan pemilu yang ditetapkan oleh KPU.

Bawaslu pun berupaya membuat aturan turunan berupa Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perbawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum. Dalam ketentuannya, Pasal 4, objek sengketa meliputi keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, atau keputusan KPU Kabupaten/Kota dalam dalam bentuk surat keputusan atau berita acara.

Baca juga: Perbawaslu Nomor 27 Tahun 2018 (Perubahan Kedua)

Waktu pengajuan PSPP, berdasarkan Perbawaslu Nomor 27 Tahun 2018 tersebut, pemohon hanya punya waktu paling lama tiga hari sejak tanggal penetapatan Keputusan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Kemudian, diberikan waktu tiga hari tambahan dalam melengkapi berkas permohonan. Barulah Bawaslu punya tenggang waktu proses PSPP selama 12 hari hingga memutus penyelesaian sengketa dalam sidang ajudikasi.

Dengan begitu, putusan bisa dijalankan KPU dan para pihak bisa segera dilaksanakan, mengingat ada banyak proses tahapan pemilu selanjutnya. "Jika lebih dari 12 hari, Bawaslu akan dilaporkan ke DKPP karena dianggap tidak profesional dalam menjalankan tugas sehingga melanggar kode etik. Ini yang dihindari," sebut Fritz.

Melihat kondisi geografis Indonesia yang beragam dan luas, Bawaslu pada September 2018 telah membuat layanan online bernama Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS) agar memudahkan pemohon mengajukan sengketa,. Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, tujuan penggunaan SIPS diantaranya memudahkan pemohon mengajukan sengketa dan meningkatkan transparansi penyelesaian sengketa proses pemilu.

"Melalui SIPS, masyarakat dimudahkan dalam mengajukan permohonan sengketa karena permohonan dapat dilakukan secara dalam jaringan (online). SIPS memfasilitasi informasi sejauh mana proses sengketa dan siapa penanggung jawab sengketa proses pemilu," katanya, Selasa (25/9/2018).

Baca juga: Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Bawaslu

Selain itu, pada Maret 2019, Bawaslu pun mendistribusikan Buku Saku Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu sebagai pemberi pemahaman terhadap jajaran pengawas pemilu. Buku ini disebarkan kepada jajaran Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat kecamatan dengan menekankan prinsip pencegahan terjadinya sengketa proses pemilu.

“Melalui buku saku penyelesaian sengketa proses pemilu ini, kita akan mengenalkan prinsip cepat dan sederhana dalam proses penyelesaian sengketa kepada panwascam. Buku ini sebagai pegangan dalam penyelesaian sengketa proses pemilu,” ujar Anggota Bawaslu Rahmat Bagja dalam Rapat Kerja Teknis Penyelesaian Sengketa antar Peserta Pemilu Tingkat Kabupaten/Kota Tahap I, di Jakarta, Sabtu (30/3/2019).

Menurutnya, Panwascam sebagai pemegang mandat dari Bawaslu Kabupaten/Kota mampu menyelesaikan sengketa secara cepat dan sederhana dengan mengutamakan pendekatan musyawarah dalam penyelesaian sengketa. Meski begitu Bagja mengingatkan, Panwascam sebagai pengawas Ad Hoc (sementara) tidak mempunyai wewenang PSPP berupa ajudikasi.

Berita lainnya:

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Agenda Bawaslu

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu