Dikirim oleh Rama Agusta pada
Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu, Rahmat Bagja saat mengikuti acara bedah buku: Spritualitas Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Kamis (12/8/2021) dilakukan secara daring/Foto: Pemberitaan dan Publikasi Bawaslu RI

Jakarta, Badan Pengawasa Pemilihan Umum - Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengingatkan dalam pelaksanaannya, demokrasi secara substansial sering kali dibandingkan dengan demokrasi prosedural. Menurutnya hal tersebut terpisah.

"Menurut saya, pendekatan demokrasi dalam pemilihan kerap membandingkan  demokrasi substansial dan prosedural," katanya saat mengikuti secara daring (dalam jaringan) acara bedah buku: Spritualitas Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Kamis (12/8/2021).

Dia menegaskan, padahal demokrasi dari sisi substansial dan demokrasi secara prosedural bisa saja dipisahkan.  Bagja lalu mencontohkan dalam demokrasi prosedural diandaikan semata-mata sebagai teknis dan prosedur pergantian kekuasaan secara damai. "D mana yang menang, memiliki legitimasi untuk berkuasa," ungkap dia.

Baca juga: Tak Boleh Santai, Bagja: 2021 itu Tahun Evaluasi dan Persiapan Pemilihan Serentak 2024

Dia menambahkan, untuk demokrasi substansial tidak sekadar teknis politik, tetapi dituntun secara ketat dengan prinsip-prinsip moral seperti kejujuran dan keadilan. Hal tersebut baginya dikarenakan teknis pelaksanaannya masih memisahkan prinsip demokrasi substansial dan moralitas.

"Secara prosedural, demokrasi kita sudah bagus. Namun secara substansial masih banyak yang belum substantif," tegasnya.

Baca juga: Kode Etik Mengikat dan Wajib Dipatuhi Penyelenggara Pemilu

Pada kesempatan itu juga, Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu itu memberikan pendapatnya usai membedah buku berjudul Spritualitas Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dirinya memandang, buku tersebut mengusung tema utama mengenai hubungan spritualitas dan demokrasi. Kedua hal ini, lanjut dia, yang secara umum sering diabaikan oleh banyak orang karena anggapan sekularistik yang memandang bahwa spritualitas hanya berkaitan dengan dimensi ‘teologis’, sedangkan demokrasi berkaitan dengan dimensi ‘antropologis’.

"Buku ini menarik, karena berupaya menghubungkan kembali antara spritualitas dan demokrasi, yang teologis dan yang antropologis," tandasnya.

Editor: Ranap THS

Fotografer: Rama Agusta