Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengungkapkan berbagai upaya yang dilakukan Bawaslu dalam menjaga kualitas pemilu tanpa disinformasi. Dia pun mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dalam menggunakan jari dalam membuat atau menyebarkan informasi yang tak benar (hoaks).
Menurutnya, semua elemen masyarakat perlu bersama-sama meningkatkan kemampuan literasi masyarakat banyak agar tak terhasut dengan hoaks. Bahkan, dirinya mengingatkan agar berhati-hati menjalani aktivitas media sosial dalam menyampaikan informasi yang ternyata hoaks.
"Kalau dahulu peribahasa mulutmu harimaumu yang berarti hati-hati dengan mulutmu, sekarang mungkin berubah menjadi hati-hati dengan jarimu. Dalam pemilu ini membuat dan menyebarkan hoaks (disinformasi) ada ancaman sanksi administrasi dan sanksi pidana. Begitu pula dengan penyelenggara pemilu," jelasnya saat menjadi narasumber diskusi publik yang diadakan Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) yang dilakukan secara daring (dalam jaringan), Senin (17/4/2023).
Lelaki yang biasa disapa Bagja ini menuturkan, Bawaslu melakukan upaya pencegahan dengan identifikasi kerawanan hoaks serta meningkatkan literasi dengan kolaborasi berbagai pihak seperti kementerian atau lembaga negara, masyarakat sipil, media massa, platform media sosial, dan lainnya.
"Bawaslu sudah mengajukan gugur tugas kepada diajukan Kominfo selain ada Satgas Tangkal Hoaks dengan Kominfo. Kami juga melakukan kolaborasi seperti dengan BSSN, Google Indonesia, 'platform media sosial' seperti Instragram-WhatsApp-Facebook, Twitter, dan banyak pula lainnya," ungkapnya.
Tak hanya itu, Bagja menyatakan, upaya menangkal disinformasi kepemiluan ini, Bawaslu pun telah mendirikan komunitas digital pengawasan partisipatif melalui aplikasi Jarimu Awasi Pemilu. "Lalu, dala tahap pengawasan akan melakukan pemantauan terhadap informasi di media sosial dan konten tak resmi. Pemantauan pengawasan itu dibuatkan laporannya ditambah juga kami menerima laporan dari masyarakat," tuturnya.
Dia menyatakan, hoaks dan disinformasi penilu perlu diwaspadai agar menjadi perhatian bersama dalam mewujudkan (kontestasi) pemilu yang sehat. Bagja mengungkapkan, disinformasi dengan membuat perpecahan seperti politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dimulai pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2018. "Itu banyak (konten informasi) penuh kebencian. Bahkan masuk dalam ruang privat seperti WhatsApp grup keluarga, sekolah, atau kampus yang menurut saya tidak perlu.
Berdasarkan refleksi dalam Pemilu 2019, Bagja menyatakan, hoaks menjadi senjata pemecah yang bernada permusuhan untuk mengelabui sekaligus meraih simpati agar bisa menang. "Mau tidak mau hoaks menjadi senjata konflik (yang ampuh) oleh peserta pemilu. Ini adalah realita yang bukan hanya di Indonesia tetapi secara glibal
"Inilah dunia baru dalam menyebarkan informasi yang salah dan bisa begitu cepat dan masif. Harga mahal yang harus dibayar akibat hoaks adalah baiknya kebencian, permusuhan, dan turunnya kepercayaan kepada kinerja penyelenggara pemilu. Karena itu menjadi tantangan bersama membangun ruang demokrasi tanpa disinformasi karena saat ini 77 persen penduduk Indonesia adalah pengguna internet. Jadi, secara teknologi kebanyakan sudah tahu," pungkas dia.
Editor: Jaa Pradana