• English
  • Bahasa Indonesia

Bawaslu Bahas Konsep Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN dalam Pemilu

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo saat memberikan keterangan dalam diskusi bertema Problematika Penanganan Tindak Lanjut Pelanggaran Netralitas ASN Pilkada 2020 Kamis (9/12/2021) di Jakarta/Foto: Pemberitaan dan Publikasi Bawaslu RI

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum- Undang-undang (UU) memberikan Bawaslu kewenangan untuk menindak dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam gelaran pemilu atau pemilihan (pilkada). ASN diberikan hak konstitusional untuk memilih, namun di sisi lain juga diharuskan netral lantaran kedudukannya sebagai pelayan publik. Demikian permasalah yang menjadi diskusi bertema Problematika Penanganan Tindak Lanjut Pelanggaran Netralitas ASN Pilkada 2020 Kamis (9/12/2021) di Jakarta.

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menilai dalam menangani pelanggaran netralitas ASN merupakan hal unik. Menurutnya, hal ini berbeda dalam penanganan netralitas TNI atau Polri yang tidak mempunyai hak pilih. Kehadiran Bawaslu menurutnya untuk melindungi hak pilih ASN, bukan untuk menghilangkannya. Dewi menegaskan, Bawaslu harus menempatkan posisi ASN dengan dua status melekat yang memiliki hak memilih dan sebagai pelayan publik yang diikat kode etik jabatan ASN.

"Saya kira ini belum kita temukan konsep ideal menerjemahkan konsep netralitas ASN seperti apa sehingga peran-peran sebagai WNI yang memiliki hak pilih dengan fungsi pelayanan publik bisa kita pilah secara baik mana pengaturan perilaku boleh, tidak boleh akan semakin kita detilkan. Nantinya di lapangan Bawaslu bisa melakukan pengawasan dan penanganan pelanggaran secara tepat," papar Dewi.

Dia menerangkan hak pilih merupakan hak fundamental untu dilindungi. Baginya perlu ada formula kebijakan nantinya dapat memilah secara tepat antara tindakan-tindakan dalam mengekspresikan hak pilihnya dan tindakan yang berkaitan jabatan yang menguntungkan calon dalam pelaksanaan pemilu. "Apakah tepat dikatakan tidak netral ketika ASN itu mengekspresikan seperti karena ada keluarganya yang jadi calon dan kecenderungan dia akan mendukung keluarganya serta mengekspresikan mendukung keluarganya, tetapi tidak mengganggu pilihan-pilihan orang lain," urai perempuan asal Palu, Sulawesi Tengah itu.

Sementara Kepala Biro Fasilitasi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Yusti Erlina menambahkan UU tidak mengatur secara rigid pengawalan ASN dan penerjemahan hak-hak politik ASN, khususnya saat akan mencalonkan diri. "Bentuk-bentuk netralitas tidak rigid dituangkan dalam UU sehingga Kemen-PANRB mengeluarkan batasan-batasan mana yang boleh dan tidak boleh serta Kemendagri, dan BKN mengeluarkan batasan-batasan ASN," terangnya.

Terkait dengan hak politik mencalonkan diri menjadi peserta pemilu/pemilihan, Yusti menegaskan harus ada panduan maupun batasan yang jelas apa yang boleh dan apa yang tidak. Pasalnya, ini akan menimbulkan ambiguisitas atau menciptakan ruang abu-abu dan ujungnya suatu proses yang tidak mencerminkan kepastian hukum dalam mengawal netralitas ASN.

"Apakah kondisi regulasi yang tidak mengatur rigid ruang kosong ini bisa diisi? Bisa melalui Permenpan, Peremdagri atau bahkan UU ASN. Dalam uu asn sekarang ini tidak spesifik larangan bagi ASN unutk terlibat dalam parpol tetapi ini menjadi tidak 'match' dengan UU Pemilu yang memberikan hak mencalonkan diri," kata Yusti.

Bertindak selaku narasumber diskusi, Asisten Ahli KASN Iip Ilham Firman mengungkapkan data pelanggaran netralitas asn pada Pilkada 2020 ada 2.007 ASN yang dilaporkan. Sebanyak 2.007 ASN telah diproses KASN, 1.339 atau sekitar 85 persen diantaranya sudah ditindaklanjuti oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dengan penjatuhan sanksi. 15 persen belum ditundaklanjuti PPK ini yang menjadi permasalahan yang dihadapi saat ini.

Selain itu, Iip mengungkapkan masalah utama dalam penanganan netralitas ini adalah bagaimana memberikan sanksi yang tegas, bukan hanya kepada ASN tapi juga kepada paslon yang melakukan politisasi birokrasi. KASN sering mendapat masukan atau protes mengenai pengawasan netralitas hanya ditujukan pada ASN semata, tetapi paslon yang melakukan politisasi itu luput. "Padahal itu adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan mereka berpolitik praktis. Sanksi tegas kepada paslon itu hal yang sangat penting. ASN tidak selalu menjadi korban utama," kata dia.

Analis Kebijakan Madya Kemenpan-RB Rosdiana memandang perlu ada kesepakatan lagi terkait dengan penanganan pelanggaran netralitas ASN untuk menghadapi Pemilu Serentak 2024. Disiplin PNS dijelaskannya adalah kesanggupan ASN untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan, tidak boleh ikut dalam parpol. Kemenpan-RB, kata dia, selalu mendengungkan untuk ASN ada larangan untuk memberikan dukungan kepada peserta pemilu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 bahwa ASN dilarang untuk memberikan dukungan kepada peserta pemilu.

"Kadang banyak yang menanyakan pada saat ASN akan nyalon kapan diberhentikannya. Saya pernah menanyakan aturannya ke KPU, lalu kata KPU ada 2.000 ASN mau ikut jadi anggota DPRD dengan masing-masing partai. (Saya jawab) Tidak bisa, harus diberhentikan karena belum ditetapkan. Padahal PP 53 yang mengatakan ASN tidak boleh menjadi anggota parpol, mana yang lebih dahulu ditetapkan? Dia ditetapkan untuk ikut sebagai calon anggota DPRD menjadi anggota partai atau yang ditetapkan. Di Indonesia tidak bisa menjadi anggota legislatif tidak ikut anggota parpol," pungkasnya.

Editor: Ranap THS
Fotografer: Jaa Pradana

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu