• English
  • Bahasa Indonesia

Tanggapi Usulan Kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada, Bagja Nilai Perlu Ada Perbaikan Regulasi

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat menghadiri diskusi terpumpun mengenai urgensi kodifikasi undang-undang pemilu dan pemilihan yang diselenggarakan Bappenas di Jakarta, Senin (27/5/2024).

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menanggapi niatan perubahan atau kodifikasi (pembukuan hukum dalam suatu kumpulan undang-undang dalam materi yang sama) antara undang-undang (UU) pemilu dan pemilihan (pilkada). Sebagai bagian penyelenggara pemilu yang menjadi pelaksana amanah undang-undang, menurutnya, perlu ada ada perbaikan regulasi ke depannya dalam memberikan kepastian hukum.

"Bawaslu menerima apa saja yang akan diamanatkan undang-undang karena kami hanya sebagai pelaksana. Tetapi, kami menitipkan ini (harapan perbaikan regulasi) kepada teman-teman Bappenas (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) atau pemerintah, akademisi, dan pemantau pemilu," katanya saat menghadiri diskusi terpumpun mengenai urgensi kodifikasi undang-undang pemilu dan pemilihan yang diselenggarakan Bappenas di Jakarta, Senin (27/5/2024).

Bagja mengungkapkan sejumlah adanya perbaikan regulasi seperti kodifikasi UU Pemilu dan UU Pemilihan atas beberapa alasan. Urgensi tersebut karena masih ada tumpeng tindih atau kontradiksi norma dalam UU yang berbeda atau adanya 'redundant' norma. "Lalu adanya pengaturan yang berbeda atas isu yang sama oleh penyelenggara yang sama, aturan rancu atau multi tafsir, dan perlu adanya kepastian hukum. Materi kodifikasi ini dari UU Pemilu, UU Pilkada, putusan MK, dan kebutuhan norma hukum atas suatu keadaan atau terjadinya kekosongan hukum," jelas dia.

Dia melanjutkan,beberapa isu strategis dalam proyeksi kebutuhan norma dalam kodifikasi UU, secara garis besar yakni mengenai kampanye, kelembagaan, kewenangan, penegakan hukum, politik uang, syarat calon, sistem informasi, dan lainnya. "Misalnya soal kampanye, pertama ada perbedaan definisi dalam UU Pilkada dan Pemilu. UU Pilkada tidak menjelaskan siapa subjek yang melakukan kampanye dan juga tidak memuat objek citra diri," tuturnya.

Kedua, Bagja melanjutkan, larangan kampanye di tempat pendidikan yang perlu mengadospi putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab dan tanpa kehadiran tanpa atribut kampanye. "Ketiga, pelaksana kampanye yang mana dalam UU Pilkada hanya ada tim kampanye saja. Idealnya diatur sebagaimana UU Pemilu yang juga didaftarakan. Keempat, metode kampanye yang dalam UU Pilkada belum memuat metode kampanye melalui media sosial dan internet dan metode rapat umum. Kelima, mengenai larangan kampanye yang perlu memuat norma penjelasan tentang larangan penggunaan fasilitas yang berkaitan dengan jabatan," jelas sarjana hukum dari Universitas Indonesia ini.

Master Hukum dari Utrecht University, Belanda ini menekankan, adanya perbaikan kelembagan pengawas pemilu. "Panwaslu Kabupaten Kota dalam UU Pilkada adalah Bawaslu Kabupaten Kota dalam UU Pemilu sesuai Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019, sehingga berkorelasi terhadap norma tentang pembentukan. Lalu penyesuaian nama PPL (Pengawas Pemilu Lapangan) dalam Pasal 1 angka 19 UU Pilkada menjadi PKD (Pengawas Kelurahan/Desa) dalam UU Pemilu. Kami menyarankan Namanya sama saja PKD, sehingga tidak bolak-balik ganti kop surat. Termasuk harpan penambahan jumlah PKD dari semula hanya satu orang untuk mengantisipasi lebih dari satu panel yang dilakukan PPS (Panitia Pemungutan Suara)," ucapnya.

Lelaki kelahiran Medan, 10 Februari 1980 ini juga mengekritisi aturan teknis seperti ketentuan hari dalam UU Pilkada yang masih menggunakan hari kalender (Pasal 1 angka 28) sementara harus dimaknai hari adalah hari kerja sesuai UU Pemilu. "Lalu dengan sengketa hasil yang menjadi kewenangan MK diteguhkan dalam penyelesaian perselisihan Hasil Pilkada melalui Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menghapuskan Pasal 157 ayat 1, 2, dan 3 tentang Badan Peradilan Khusus Pemilu. Ini juga perlu didiskusikan," imbuhnya.

Selain itu, ada pula mengenai penanganan temuan dan laporan yang mana dalam UU Pilkada hanya mengenal laporan, sedangkan UU Pemilu sudah mencantumkan laporan dan temuan. "Untuk tindak lanjut laporan pun, dalam UU Pilkada, Bawaslu Bawaslu hanya meneruskan laporan dugaan pelanggaran ke KPU. UU Pilkada tidak memberikan kewenangan Bawaslu untuk memproses seperti dalam Pasal 455 UU Pemilu," terangnya.

Dia menambahkan, masih banyak hal yang perlu ada keselaran antara UU Pilkada dan UU Pemilu seperti dalam sengketa proses berdasarkan durasi Waktu dan prosesnya. "Lalu pelanggaran administrasi TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) dalma UU Pilkada hanya untuk politik uang, sedangkan dalam UU Pemilu TSM lebih luas. Kemudian dasar hukum Gakkumdu dalam pilkada yang diatur dalam peraturan bersama antara Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua Bawaslu, sedangkan dalam UU Pemilu Gakumdu diatur melalui Peraturan Bawaslu. Terakhir soal adopsi system informasi melalui aplikasi perlu disamakan dengan persepsi untuk aplikasi sebagai alat bantu dan membuka ruang aksesibilitas bagi pengawas pemilu melakukan tugas fungsi kewenangan pengawasan sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu," jelas dia.

Editor: Reyn Gloria
Fotografer: Tumpal Simanjuntak

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu