• English
  • Bahasa Indonesia

Pembuat UU Tak Satukan Rezim, Ada 'Gap' UU Pilkada dengan UU Pemilu

Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kedua dari kiri) saat menjadi pembicara dalam FGD Problematika Hukum Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 Dalam Rangka Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu 15 September 2019/Foto: Jaa Rizka Pradana

Sulawesi Tengah, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo memandang, para pembuat UU melupakan membenahi pemilihan kepala daerah (pilkada). Pasalnya, UU Nomor 10 Tahun 2016 yang dijadikan dasar pelaksanaan pilkada, membuat kewenangan Bawaslu lemah dibandingkan kewenangan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu.

Menurut Dewi, padahal kewenangan lengkap Bawaslu dalam pemilu terinsipirasi dari UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau biasa disebut UU Pilkada. Dia menyebut, UU Pilkada ini yang pertama mengatur pengawas di setiap TPS, lantas diadopsi dalam UU 7/2017. Termasuk pula mengenai penguatan Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) yang juga terinspirai UU 10/2016.

"Tapi ternyata pembentuk UU kelupaan membenahi kepentingan pemilu, melupakan kepentingan pilkada. Sementara rezim pemilu tidak disatukan dengan rezim pilkada," ungkap Dewi dalam FGD Problematika Hukum Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 Dalam Rangka Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (15/9/2019).

Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu ini menegaskan, apabila rezim tersebut sudah disatukan dalam rezim pemilu, tentu pelaksanaan pilkada mengacu kepada UU Pemilu.

Dewi menyatakan, dalam melaksanakan tugas fungsi dan kewenangan lembaga, ada tiga hal penting yang harus menjadi acuan. Pertama, dasar melaksanakan kewenangan. Kemudian bagaimana kewenangan itu dilaksanakan berkaitan dengan tata cara prosedur dan mekanisme.

"Ketiga, berkaitan dengan substansi. Apakah setiap tindakan yang kita lakukan seperti mengeluarkan rekomendasi, putusan itu bersifat konstitutif," paparnya.

Dewi menekankan, masalah ini harus dibedah semua pihak agar setiap proses yang dilakukan bisa menjamin kualitas pelaksanaan demokrasi. Lalu jaminan perlindungan, serta hak konstitusional kepada pemilih maupun hak konstitusional bagi peserta pilkada.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso mengungkapkan, memang ada masalah dalam kerangka hukum pemilu. Padahal kerangka hukum harusnya jelas, tidak muti tafsir, tidak ada kekosongan hukum serta tidak ada tumpang tindih.

Topo menegaskan, kerangka tersebut adalah suatu standar pertama dalam standar pemilu internasional. Di seluruh dunia, lanjutnya, pemilu dikatakan demokratis bila standar utamanya adalah kerangka hukum yang jelas.

"Kalau sekarang masih ada 'gap' antara UU 7/2017 yang merupakan semacam kodifikasi UU pemilu dengan 10/2016. Berkaitan dengan pemilihan, ada dua nomenklatur satunya pemilu satunya pemilihan. Ini orang luar negeri baca ini bingung, karena bagi mereka semua ini election," pungkasnya.

Editor: Ranap THS
Fotografer: Jaa Rizka Pradana

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu