Makassar, Badan Pengawas Pemilihan Umum- Anggota Bawaslu sekaligus penulis Buku Kajian Evaluatif Penanganan Pelanggaran Pemilu 2020 Ratna Dewi Pettalolo berharap isu dalam buku tersebut dapat menjadi inspirasi dan referensi untuk dijadikan bahan penelitian bagi mahasiswa. Hal itu dikatakannya saat memberikan sambutan bedah buku di Baruga Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H. Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (12/10/2021).
"Harapannya buku ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa dan mahasiswi khususnya fakultas hukum Universitas Hasanudin dan menjadi inspirasi untuk dijadikan bahan penelitian," tutur Dewi.
Wanita kelahiran Palu itu menjabarkan beberapa isu penting yang diangkat dalam buku. Pertama soal output penanganan pelanggaran administrasi berupa rekomendasi. Menurutnya, penyatuan Pemilu dan Pemilihan serentak 2024 tidak dibarengi dengan harmonisasi antara UU Pemilu dan UU Pemilihan. Sebab, terdapat perbedaan output dalam penanganan pelanggaran pemilu berupa putusan dan pemilihan berupa rekomendasi.
"Padahal, makna rekomendasi dan putusan memiliki perbedaan. Putusan sifatnya bisa langsung dieksekusi, sementara rekomendasi masih diberi ruang untuk dipelajari kembali," kata istri Sofyan Farid Lembah itu.
Isu kedua soal pelanggaran yang terstuktur, sistematis dan masif (TSM). Dalam UU pemilu maupun pemilihan, kata Dewi ada pengaturan yang tidak sama. Dia menjelaskan objek pelanggaran administrasi TSM di UU Pemilu lebih luas jika dibandingkan dengan UU Pemilihan yang hanya menjadikan politik uang sebagai objek.
Dia menyebutkan pada Pilkada serentak 2020 lalu terdapat 21 laporan dugaan pelanggaran administrasi pemilihan bersifat TSM yang diproses Bawaslu hanya saja tidak mudah membuktikan keterpenuhan unsur tsm yang dimaknai sebagai unsur kumulatif. "Sehingga kerika salah satu unsurnya tidak terpenuhi maka perbuatan dinyatakan tidak terbukti. Satu-satunya putusan yang mendiskualifikasi paslon adalah putusan Bawaslu Provinsi Lampung dalam Pilwakot Bandar Lampung," ungkapnya.
Isu ketiga, kata Dewi dalam UU Pemilu atau pemilihan adanya kriminalisasi yang berlebihan. Hal tersebut perlu dilakukan perbaikan. "Jadi, perbuatan yang bisa diselesaikan secara administrasi tidak lagi melalui tindak pidana pemilihan, sehingga penanganan pelanggarannya akan lebih cepat dan memberikan kepastian," ungkapnya.
Isu keempat yakni soal keberadaan Sentra Gakkumdu. Dalam buku itu, menjelaskan keberadaan Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pemilihan kerap dikritik karena banyaknya kasus yang dihentikan dalam proses penanganan.
Meski demikian, berdasarkan data-data yang ada, penanganan tindak pidana dalam Pemilihan Tahun 2020 lebih meningkat dibandingkan dengan Pemilihan Tahun 2018.
Dosen Fakultas Hukum Unhas Hamzah Halim yang membuka acara bedah buku itu menjelaskan terdapat tiga poin besar. Poin pertama dalam buku tersebut memberikan pemahaman bahwa perjalanan menghadirkan demokrasi yang diharapkan masih panjang dan berliku dalam penegakan hukum pemilu.
Kedua, kata dia dalam buku tersebut terdapat potret besar penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 yang berisi banyak data.
"Ketiga, buku ini mengungkap dengan gamblang banyak hal dan mendesak untuk segera dilakukan langkah mitigasi secara dini baik regulasi atau kelembagaan," tegasnya.
Selain Dewi, bedah buku Kajian Evaluatif Penanganan Pelanggaran Pemilu 2020 diisi oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas sekaligus penulis buku itu Khairul Fahmi dan Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Unhas Achmad Ruslan.
Editor: Jaa Pradana
Fotografer : Robi Ardianto