• English
  • Bahasa Indonesia

Beda Persepsi Gakkumdu, Dewi: Perlu Diskusi Mencari Solusi Kelemahan UU

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo saat menjadi pembicara Rapat Koordinasi Evaluasi Gakkumdu Provinsi Jawa Timur Pada Pemilu 2019 di Surabaya, Kamis (5/9/2019) malam/Foto: Ranap THS

Surabaya, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Kinerja Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) perlu dipertajam sehingga makin solid. Koordinator Nasional Sentra Gakkumdu Ratna Dewi Pettalolo mengungkapkan, perlunya berbagai forum diskusi dalam mencapai persamaan pemahaman penanganan tindak pidana pemilu sekaligus menyiasati kelemahan regulasi.

"Tentu diskusi Gakkumdu bukan untuk mempertajam perbedaan, tapi mendekatkan persamaan-persamaan," katanya saat menjadi pembicara dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Gakkumdu Provinsi Jawa Timur Pada Pemilu 2019 di Surabaya, Kamis (5/9/2019) malam yang dihadiri perwakilan kejaksaan dan kepolisian.

Baca juga: Buku Sekjen Bawaslu Raih Anugerah Pustaka Terbaik 2019 

Dewi--sapaan akrabnya--mengungkapkan, dalam penanganan pidana pemilu ada laporan atau temuan sebanyak 2724 perkara. Jumlah itu menurutnya makin menurun hingga sampai keluar putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) yang mencapai 320 perkara atau sekitar 9% saja

"Dari jumlah laporan itu yang lanjut ke tahap penyidikan ada 582 atau 17%. Berhenti di tahap penyidikan 132 perkara, dan berhenti di tahap penuntutan 41 perkara. Total perkara yang berhenti di pembahasan dua itu hingga 62%," beber Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu ini.

Dia menyatakan, terhentinya perkara dalam tahap penyidikan atau penuntutan lantaran berbagai persoalan. Namun Dewi mengakui, alasan paling banyak akibat belum adanya kesepahaman persepsi Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan secara bersamaan dalam menangani perkara pidana pemilu. "Alasannya macam-macam, tapi paling dominan tidak ketemu sama pendapat terkait unsur pidana," tukasnya.

Dewi menambahkan, ada beberapa kelemahan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dalam menangani pidana pemilu. Dirinya mencontohkan, soal kampanye di luar jadwal. "Unsurnya itu jelas tegas dibunyikan harus ada keputusan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang sifatnya kumulatif karena menggunakan kata 'dan'. Berarti harus bersamaan, harus ada hierarki di seluruh penyelenggara yang bentuknya keputusan tentang jadwal kampanye di media. Padahal kita tahu, tidak pernah ada keputusan KPU soal jadwal kampanye di media massa," terangnya.

Hal ini, lanjutnya, menimbulkan perbedaan pendapat. Juga, terkait operasi tangkap tangan (OTT) pidana pemilu yang dilakukan kepolisian di beberapa tempat. Menurut Dewi, Bawaslu sendiri tak mengenal OTT, melainkan hanya temuan atau laporan. "Karenanya fungsi pencegahan dan pengawasan merupakan bagian tak terpisahkan dalam penanganan pidana pemilu. Itu ibarat satu tarikan nafas," tuturnya.

Baca juga: Tingkatkan Kinerja Pengawasan, Fritz Minta Bawaslu Belajar dari Pengalaman 

Dewi pun menekankan, perlunya pengawasan hingga penindakan politik uang. Dalam pengungkapan kasus pada Pemilu 2019 dia mengkalkulasi jumlahnya terbilang kecil. "Tidak sampai 50 perkara politik uang yang sampai putusan 'inkracht'. Ini menunjukkan politik uang seperti fenomena gunung. Kelihatan sedikit, padahal sesungguhnya banyak terjadi. Ini pekerjaan rumah buat kita semua," serunya.

Dirinya bercerita, pernah menghadiri forum anggota DPRD seluruh Indonesia. Dalam forum tersebut ada pengakuan dari anggota DPRD yang bisa terpilih kembali karena melakukan politik uang sehingga mendapat suara banyak. "Jadi menurut mereka politik uang itu sesuatu yang lazim, bukan kejahatan. Sementara yang tidak terpilih mengatakan, Bawaslu tidak bekerja," sebutnya.

Atas tuduhan tersebut, Dewi meyakinkan, politik uang itu tidak terjadi di ruang terbuka. Terlebih para caleg menurutnya punya cara menghindari keterpenuhan unsur pidana. "Subjek hukum hanya tiga yaitu peserta, tim kampanye, dan pelaksana. Caleg kalau memninjam tangan orang lain itu tidak bisa tersentuh UU 7/2017. Caleg itu pintar sekali mendeteksi kelemahan UU. Mungkin karena mereka juga yang buat untuk yang di DPR RI," sergahnya.

Atas kelemahan aturan dan perbedaan persepsi penanganan pidana pemilu, Dewi berharap adanya diskusi evaluasi guna menemukan solusi. Pasca Pemilu 2019 dia bilang, dari berbagai diskusi banyak usulan yang bermunculan. "Misalnya apakah sudah saatnya didorong keberadaan peradilan khusus pemilu dalam menangani pelanggaran pemilu. Baik itu pelanggaran adminitrasi atau pidana pemilu," terangnya.

Baca juga: Dewi: Evaluasi Gakkumdu Secara Objektif Temukan Solusi 

Meski begitu, penanganan pidana Pemilu 2019 sudah baik. Dewi meyakinkan, jumlah laporan hingga putusan jauh lebih banyak ketimbang Pemilu 2014. "Saya meyakini tidak munculnya konflik besar akibat kontribusi dan eksistensi Gakkumdu yang sudah diperkuat dalam UU 7/2017. Memang tidak bisa dipungkiri masih ada beberapa catatan yang perlu evaluasi," tutupnya.

Fotografer: Ranap THS

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu