Dikirim oleh Nofiar pada

Depok, Badan Pengawas Pemilihan Umum – Bawaslu menyoroti beberapa persoalan untuk didiskusikan sebagai masukan dalam revisi Undang-Undang Pemilu. Salah satunya adalah mengenai kerentanan pengawas ad hoc pemilu di lapangan. Kerentanan tersebut menyangkut syarat batas usia, syarat pendidikan, dan perbedaan hukum dan hukum acara pemilu.

 

“(Perbedaan ketentuan pidana politik uang antara pemilu dan pilkada) agak bermasalah jika diterapkan teman-teman pengawas di lapangan. Dengan Panwascam tamatan SMA, agak kebingungan mengenai sistem dan ketentuan pidana,” kata Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam Seminar Penguatan Tata Kelola Kelembagaan Pengawasan Pemilu melalui Sistem Pencegahan dan Penegakan Hukum Pemilu yang Berkepastian Hukum dalam Rangka Revisi Undang-Undang Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Senin (1/12/2025).

 

Ia berpendapat, sebaiknya regulasi pemilu dan pilkada disatukan. Hal itu, kata dia, akan mengurangi kebingungan yang mungkin dialami oleh pengawas ad hoc di lapangan.

 

Soal batas usia pengawas ad hoc, Bagja mengatakan, dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, usia minimal kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) adalah 17 tahun, sedangkan pengawas TPS minimal berusia 25 tahun. Meski kemudian MK memutus mengoreksi batas usia pengawas TPS menjadi minimal 21 tahun, Bagja mengakui, rekrutmen pengawas TPS tetap sulit dilaksanakan.

 

Persoalan juga muncul pada syarat pendidikan. Ia mengatakan, dahulu anggota Bawaslu kabupaten/kota disyaratkan minimal berpendidikan S1, kini hanya SMA. Ia menilai hal tersebut menimbulkan kesenjangan dalam pembahasan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) antara polisi, jaksa, dan pengawas pemilu.

 

Alumnus Fakultas Hukum UI itu menyebutkan, kerentanan pengawas ad hoc juga tampak dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Menurutnya, tahapan pemilu dan pilkada yang beririsan menciptakan tumpang tindih regulasi.

 

Selanjutnya, Bagja menegaskan bahwa hukum acara sengketa pemilu, baik administrasi maupun pidana, perlu diperbarui. Saat ini, batas waktu penyelesaian sengketa dan daluwarsa perkara antarregulasi tidak sama sehingga menimbulkan ketidakpastian.

 

“Paling penting adalah hukum acara sengketa pemilu atau pilkada. Penanganan dugaan pelanggaran administrasi ada batas waktu dengan durasi daluwarsa yang tidak sama antara pemilu dan pilkada,” ujarnya.

 

Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, saat ini pihaknya terus membahas revisi UU Pemilu. Ia berpendapat, sebaiknya ada kodifikasi UU Penyelenggaraan Pemilu agar setiap aturan sinkron.

 

Rifqi mengungkapkan, demi perbaikan pemilu mendatang, dalam pembahasan tersebut pihaknya menampung masukan publik. Beberapa hal yang dibahas, lanjutnya, adalah mengenai sistem pemilu campuran, alokasi kursi, ambang batas parlemen, keterwakilan perempuan, syarat caleg DPR RI. Kemudian, tambahnya, mengenai seleksi dan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu, desentralisasi pencalonan, e-voting, moratorium bansos, formulasi rekapitulasi suara, penanganan politik uang, syarat pemilih, dan Pilkada Daerah Khusus Jakarta.

 

“Menurut kami (Komisi II DPR), ini harus diubah ke depan untuk perbaikan pemilu kita (Indonesia),” ujarnya.

 

Fotografer: Nofiar 

Editor: Dey