Dikirim oleh Rama Agusta pada
Anggota KPI Nuning Rodiyah (kanan) sedang menjelaskan temuan KPI dalam pengawasan iklan kampanye di lembaga penyiaran sebagai masukan dalam penyusunan Perbawaslu Pilkada Serentak 2020, Selasa 6 Agustus 2019/Foto: Rama Agusta

Yogyakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum – Berbekal pengalaman  tiga pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2015, 2017, dan 2018 ditambah Pemilu 2019, Bawaslu bakal menyoroti pengawasan kampanye di media sosial (medsos) menjelang Pilkada Serentak 2020. Hal ini dikarenakan jangkauan pengawasan Bawaslu terhadap medsos dalam tahapan kampanye lalu masih sulit dilakukan.

Baca juga: KASN Sanjung Bawaslu Tangani Pelanggaran Netralitas ASN

Tim Asisstensi Hukum Bawaslu Muhammad Nur Ramadhan menjabarkan, medsos makin berkembang dengan kampanye dilakukan banyak akun, sehingga akun atau orang di luar akun peserta pilkada pun dengan mudah menyebarkan informasi hoaks. Di sisi lain, lanjutnya, norma aturan terkait pengawasan medsos dalam Perbawaslu (Peraturan Bawaslu) belum masksimal menjangkau akun atau orang-orang yang bukan terdaftar.

"Berkaca pada Pemilu 2019 sebelumnya, medsos paling sulit dijangkau Bawaslu. Bagaimana norma yang bisa kita gunakan untuk menjangkau metode kampanye di medsos?,” tanyanya di Yogyakarta, Selasa (6/8/2019).

Senada dikatakan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Nuning Rodiyah. Dia menilai, karakter kampanye pada Pilkada Serentak 2020 akan berbeda dengan tiga pilkada sebelumnya. Baginya, dalam Pilkada Serentak 2020 isu krusial berkaitan dengan lembaga penyiaran itu sendiri.

Hal itu menurutnya dikarenakan Pemilu 2019, banyak lembaga penyiaran yang menayangkan iklan kampanye peserta pemilu yang tidak memiliki legalitas, namun diizinkan oleh KPU. “Ini menyulitkan sebab KPI belum memiliki infrastruktur memadai, terutama merekam frekuensi yang ada di daerah-daerah karena KPI hanya sampai di tingkat provinsi saja,” imbuh dia.

Nuning pun menganggap, jika kejadian serupa dibiarkan dalam Pilkada Serentak 2020, maka turut menyulitkan Bawasalu terutama dalam mengidentifikasi iklan kampanye di lembaga penyiaran terutama dalam hal durasi. "Ini yang akan jadi persoalan kami dalam pengawasan iklan kampanye di media elektronik," sergah Nuning.

Baca juga: Dewi: Bawaslu Bukan Berikan Untung, Tapi Berikan Keadilan Pemilu

Sementara Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim berpendapat, metode kampanye peserta pemilu sangat ditentukan karakter kekuatan partai politik (parpol) yang tercermin dalam komposisi pasangan calon. Dia yakin, persoalan ini akibat parpol yang tidak punya ideologi jelas.

Abdul menambahkan, hal tersebut membuat kecenderungan pemilih lalu menjadi bingung menggunakan hak pilihnya, bahkan ada kecenderungan polarisasi. "Ini penting bagi Bawaslu untuk mencegah polarisasi terjadi kembali di Pilkada 2020," dia mengingatkan.

Editor: Ranap Tumpal HS