Jakarta, Badan Pengawas Pemiihan Umum - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menjelaskan, Bawaslu menggandeng berbagai pihak dalam melakukan pengawasan ujaran kebencian dan misinformasi pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024. Kerja sama yang telah dilakukan termasuk untuk mempermudah Masyarakat menilai kebenaran sebuah konten.
"Bawaslu sedang membangun kerja sama dengan Cek Fakta untuk mempermudah masyarakat dalam menilai kebenaran atas sebuah konten yang ada di media," katanya saat menjadi narasumber webinar Memantau Ujaran Kebencian dan Jalan Menuju Pemilu yang Inklusif, Rabu (16/10/2024).
Kerja sama, kata Bagja, juga dilakukan dengan berbagai NGO seperti Mafindo, Koalisi Masyarakat Sipil, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), dan berbagai pihak lainnya. Selain itu, lanjutnya, kolaborasi dilakukan bersama dengan berbagai platform media sosial seperti Tiktok, Google, dan Meta.
Selain itu, jelas Bagja, Bawaslu membentuk tim pengawasan Siber yang bekerja sama dengan Kemkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan berbagai pihak terkait lainnya. Dalam kesempatan itu, Bagja juga berharap masyarakat semakin aktif dalam mencegah terjadinya ujaran kebencian.
"Kami kira dengan pola pengawasan dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan baik itu dari pemerintah, NGO, dan masyarakat dapat memitigasi kerawanan yang akan terjadi, misalnya hoaks dan ujaran kebencian di media sosial," ungkapnya.
Dalam webinar tersebut, Bagja memaparkan hasil pengawasan Siber pada Pemilu 2024 lalu. Ujaran kebencian diidentifikasi menjadi jenis dugaan pelanggaran paling banyak yaitu 340 atau 96 persen. Sementara itu, lanjut dia, pelanggaran berita bohong memiliki jumlah paling sedikit yaitu 5 atau sekitar 1 persen. "Salah satu rekomendasi hasil pengawasan Siber pada Pemilu 2024 lalu yakni berkoordinasi dengan Kemkominfo untuk segera men-takedownterhadap konten-konten yang telah teridentifikasi," katanya.
Peneliti Ika Idris menjelaskan cara memitigasi potensi negatif dari ujaran kebencian melalui jurnalisme yakni mengidentifikasi narasi kebencian dan stigmatisasi ke kelompok minoritas, menghindari menyalahkan korban.
"Jangan sampai korban menjadi sasaran dari pemberitaan yang dibuat. Dan yang paling penting, ketika ada narasi ujaran kebencian kita harus bertanya, siapa yang akan paling banyak mendapatkan keuntungan dari kampanye tersebut," ujarnya.
Selanjutnya, kata Ika, cara memitigasi potensi negatif ujaran kebencian yakni menggunakan strategi narasi tandingan, yaitu konten yang menghibur. "Jika ujaran kebencian dibalas dengan ujaran kebencian, bisa (terjadi) bentrok. Strateginya menggunakan model konten menghibur," jelasnya.