• English
  • Bahasa Indonesia

Adanya SE Mendagri Soal Larangan Mutasi, Bawaslu Tetap Berpedoman UU Pilkada

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo saat mengikuti saat mengikuti diskusi penyamaan persepsi Pasal 71 ayat 2 UU 10/2016 di Ruang Rapat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Jakarta, Rabu 15 Juli 2020/Foto: Humas Bawaslu RI

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 273/487/SJ tak menjadi patokan penanganan pelanggaran yang dilakukan Bawaslu. Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyatakan pedoman dalam memberikan sanksi kepada calon petahana dalam Pilkada Serentak 2020 tetap mengacu Undang-Undang (UU) Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

Menurutnya, pasal 71 Ayat 2 UU 10/2016 merupakan instrumen yang jelas dan tegas dalam menciptakan mekanisme kontrol tentang penggantian struktur pejabat daerah oleh calon petahana terhitung enam bulan sebelum penetapan calon tanpa persetejuan menteri dalam negeri (mendagri).

"Saya kira desain UU sudah sangat jelas. Kami (Bawaslu) lembaga yang diberi kewenangan penegakan hukum dalam membuat pertimbangan dan kaijian akan menggunakan UU," ungkapnya saat mengikuti diskusi penyamaan persepsi Pasal 71 ayat 2 UU 10/2016 di Ruang Rapat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Rabu (15/72020).

Dewi memastikan, SE tersebut tidak mengikat terhadap kewenangan yang dimiliki Bawaslu. Meski begitu, dia mengungkapkan dalam proses penanganan pelanggaran terkait larangan mutasi jabatan ini Bawaslu dalam melakukan penanganan pelanggaran bakal berlangsung secara terbuka, bahkan melibatkan Kemendagri sebagai pihak terkait.

"Bukan berarti mengesampingkan SE, tetapi ini (SE) akan menjadi bahan bacaan. Jika atruan dalam edaran bertenangan dengan UU, maka akan kami kesampingkan," terangnya.

Perlu diketahui, SE Mendagri Nomor 273/487/SJ tertanggal 21 Januari 2020 ini sendiri merupakan kelanjutan dari amanat Pasal 71 UU 10/2016. Hanya saja masih ada beberapa tafsir penerapannya seperti memperbolehkan pergantian jabatan apabila terjadi kekosongan jabatan misalnya akibat meninggal dunia.

Sedangkan dalam Pasal 71 hanya disebutkan pergantian jabatan bisa dilakukan dengan persetujuan resmi dari Kemendagri. Jika ada yang melanggar maka akan dikenakan sanski administrasi dan pidana. Adapun sanksi adsministrasi jika gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Sedangkan sanksi pidana pada pasal 188 berbunyi: setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan dan/atau denda paling sedikit Rpidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Editor: Ranap THS
Fotografer: Muhtar

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu