• English
  • Bahasa Indonesia

Selayang Pandang Penguatan Kewenangan Bawaslu dalam Lima Fase

Aksi demonstrasi pasca pemilihan presiden tahun 2014 di depan Gedung Bawaslu yang masih menggunakan logo lama/Foto: Humas Bawaslu RI

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Sahabat Bawaslu, tahukah Anda, kehadiran Bawaslu merupakan hasil dari kontemplasi panjang para stakeholder pemangku kepentingan demi menegakkan tonggak demokrasi bangsa lewat pemilu yang jujur dan adil serta langsung, umum, bebas, dan rahasia?

Berbagai masalah, kendala, dan tantangan mewarnai dinamika dalam kehadiran hingga penguatan Bawaslu sebagai pengawas dan pemberi keadilan pemilu maupun pilkada. Terjadinya beberapa kali perubahan dan penggantian undang-undang (UU) yang memberikan mandat kewenangan sekaligus kelembagaan Bawaslu.

Berbagai perubahan dan pengembangan yang dilakukan dalam peraturan perundang-undangan tersebut mampu berkontribusi dalam menciptakan sistem keadilan pemilu yang lebih baik. Tujuannya, bisa menghadirkan alam demokrasi yang sehat sekaligus menghadirkan pilihan pemimpin yang berkualitas.

Kepastian hukum akan dapat dirasakan jika pembagian kewenangan dalam penegakan hukum pemilu antarlembaga terkait semakin jelas (meskipun mungkin belum sempurna), termasuk dalam penguatan kewenangan Bawaslu sebagai ujung tombak lembaga penegakan hukum pemilu.

Perkembangan sistem penegakan hukum pemilu tergambar dalam UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Partai Politik hingga beberapa UU Pemilu berikutnya apabiladipetakan dapat menunjukkan fase-fase perkembangan sistem penegakan hukum pemilu.

Ada beberapa fase yang perlu Sahabat Bawaslu ketahui dalam pendirian hingga penguatan posisi Bawaslu. Fase pertama, melalui UU Nomor 3 tahun 1999 sebagai cikal bakal UU Pemilu pertama di era reformasi. Dalam UU tersebut, mulai muncul norma pengaturan tentang sengketa pemilu (Pasal 26), pelanggaran dan sanksi administratif terkait dengan dana kampanye (Pasal 49), serta pengaturan tentang bentuk tindak pidana pemilu yang diatur ke dalam 2 pasal dan terdiri atas 14 ayat (Pasal 72 dan 73).

Pada aspek kelembagaan pengawasan dan penegakan hukum pemilu, UU ini juga mengubah desain kelembagaan pengawasan pemilu menjadi beranggotakan unsur masyarakat dan perguruan tinggi yang diangkat oleh Lembaga Peradilan (Pasal 24).

Lembaga pengawas pemilu yang bersifat Ad hoc (sementara) juga bertugas menangani pelanggaran dan menyelesaikan sengketa dan perselisihan pemilu, dan dapat meneruskannya ke instansi penegak hukum jika tidak mampu menyelesaian (Pasal 26).

Fase medua, melalui UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi dasar pijakan hukum penyelenggaraan Pemilu 2004.

Norma pengaturan tentang sistem penegakan hukum pemilu mengalami beberapa perubahan.UU ini mulai menambah pengaturan tentang ancaman pidana bagi pelanggaran kampanye (yang dalam UU Nomor 3 tahun 1999, ataspelanggaran larangan dalam kampanye hanya diancam tindakan berupa pembubaran kegiatan kampanye)sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1).

Di situ juga memperbanyak ragam bentuk sanksi atas pelanggaran administrasi (Pasal 76 ayat (2), (4); Pasal 77 ayat (2)) dimana penjatuhan sanksinya dilakukan oleh KPU. Pada aspek kelembagaan. UU ini mengubah desain kelembagaanpengawas pemilu menjadi kelembagaan yang dibentuk oleh KPU (Pasal 120) dengan unsur keanggotaan yang terdiri atas unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers (Pasal 124).

Fase Ketiga, melalui UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terjadi perkembangan norma pengaturan tentang sistem penegakan hukum pemilu. Tugas pengawasan pemilu yang diemban oleh Panitia Pengawas diatur secara spesifik mencakup pula pengawasan terhadap kinerja KPU, misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18.

Perluasan obyek pengawasan ini merupakan sebagai implikasi dari perdebatan hukum yang muncul pada Pemilu 2004 tentang apakah Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) berwenang mengawasi kinerja KPU?

Masih terkait dengan aspek kelembagaan pengawas pemilu, UU ini juga meningkatkan sifat kelembagaan pengawas pemilu di tingkat pusat menjadi permanen dalam bentuk badan dan dipilih oleh DPR, sedangkan pada tingkat di bawahnya tetap bersifat Ad hoc.

Namun demikian, unsur keanggotaannya diubah dengan menghilangkan unsur dari Kepolisian dan Kejaksaan. UU ini juga memperluas cakupan pelanggaran administrasi dengan menambahkan ketentuan tentang pelanggaran kampanye melalui media penyiaran sekaligus memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran dan Dewan pers guna melakukan penegakan hukum (Pasal 89-100).

Lalu, fase Keempat Pada fase ini, terjadi perubahan signifikan dalam kerangka hukum pemilu, di mana norma pengaturan tentang penyelenggara pemilu dipisahkan dari UU pemilu. Dalam UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mulai memperkenalkan pembentukan lembaga baru yakni DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) sebagai lembaga penegakan kode etik penyelenggara pemilu.

Sifat kelembagaan pengawas pemilu ditingkatkan menjadi permanen di tingkat provinsi. Prosedur penegakan hukum terhadap pelanggaran administrasi pemilu diubah. Pengawas pemilu melakukan pemeriksaan dan menghasilkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti KPU, namun KPU masih teap melakukan pemeriksaandan memutus terkait rekomendasi dari pengawas pemilu (Pasal 254-256 UU Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD).

UU ini juga mulai memperkenalkan kelembagaan Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu (Pasal 266), kelembagaan Sentra Gakkumdu (Pasal 267), serta sengketa Tata Usaha Negara Pemilu sebagai jenis baru sengketa pemilu terkait dengan keputusan yang dikeluarkan oleh KPU (Pasal 268-270). Sedangkan norma pengaturan tentang tindak pidana pemilu kembali berubah menjadi 48 pasal (Pasal 273-321).

Fase kelima merupakan perkembangan yang terjadi pada pemilu terkini yakni Pemilu 2019. Dasar pengaturan hukumnya adalah UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

UU ini menyatukan norma pengaturan terkait pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilu presiden dan wakil presiden serta kelembagaan penyelenggara pemilu.

Pada aspek kelembagaan penegakan hukum pemilu, kelembagaan pengawas pemilu diperkuat sifatnya menjadi permanen hingga tingkat Kabupaten/Kota (Pasal 89 ayat (4), kewenangannya dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu juga diperkuat dari sebelumnya hanya menghasilkan rekomendasi kepada KPU meningkat hingga memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi (Pasal 95 huruf b).

UU ini juga memperkenalkan pengaturan tentang pelanggaran administrasi yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (Pasal 463). Ada pun norma pengaturan tentang bentuk-bentuk tindak pidana pemilu kembali mengalami kenaikan menjadi 66 pasal (Pasal 488-554).

Kelima fase perkembangan norma pengaturan tentang sistem penegakan hukum pemilu tersebut menunjukkan perubahan yang sangat dinamis. Di satu sisi perkembangan tersebut menunjukkan arah penerapan hukum progressif, namun di sisi lain juga menunjukkan kecenderungan 'trial and error' dalam penyiapan kerangka hukum pemilu.

Penulis: Rama Agusta, Hendi Purnawan, dan Hendru
Editor: Ranap THS

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu