Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum – Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengungkapkan, dalam membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2019 ada empat peta dimensi pemetaan. Hal tersebut menurutnya agar tergambar dengan baik tingkat kerawanan sekaligus membandingkan tingkat kerawanan antarkabupaten/kota di seluruh Indonesia.
"Ini (IKP) hasil penelitian yang dilakukan Bawaslu di 514 kabupaten/kota se-Indonesia," sebutnya saat menghadiri dialog nasional yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa (27/08/2019).
Baca juga: Empat Faktor Hukum Penentu Kualitas Demokrasi di Indonesia
Fritz menjelaskan, ada empat dimensi pemetaan, yaitu konteks sosial politik, penyelenggaraan yang bebas dan adil, kontestasi, dan dimensi partisipasi. “Kemudian, empat dimensi tersebut diturunkan dalam 16 sub dimensi,” tunjuknya.
Dia merinci ke-16 sub dimensi tersebut meliputi: keamanan, otoritas penyelenggara pemilu, penyelenggara negara, relasi kuasa di tingkat lokal, hak pilih, kampanye, dan pelaksanaan pemungutan suara. Selanjutnya, ajudikasi keberatan pemilu, pengawasan pemilu, hak politik terkait gender, representasi minoritas, proses pencalonan, partisipasi pemilih, partisipasi partai, partisipasi kandidat, dan paling akhir sub dimensi partisipasi publik.
“Gambar peta kerawanan pemilu dengan lampiran rekomendasi itu diserahkan kepada kementrian dan lembaga terkait. Agar pemerintah bisa mengantisipasi permasalahan atau kerawanan setiap daerah, sesuai dengan situasi dan keadaan sosial masyarakatnya,” sebut Koordinator Divisi Hukum Bawaslu ini.
Baca juga: DPR Setuju Penguatan Kelembagaan, Sekjen Bawaslu: Demokrasi Lebih Maju
Fritz pun memaparkan, terkait isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bisa masuk dalam ranah politik. Menurutnya, penyebabnya bisa karena alamiah sehingga SARA tak dapat dielakkan dari panggung politik. “Merupakan kehendak alamiah dari subjek yang memiliki identitas untuk membawa dan mempertaruhkan identitas yang melekat pada dirinya dalam ruang politik. Bagaimanapun politik dianggap juga merefleksikan pertarungan identitas,” tuturnya.
Akan tetapi, lanjutnya, jumlah responden terbilang sedikit menyatakan maraknya politik SARA di Indonesia merupakan bagian dari pandangan kelompok alamiah.
Dia lantas membeberkan pandangan kedua yang beranggapan, politik SARA yang bersifat direkayasa. Fritz menuturkan, politik SARA dirancang dalam rumah politik, sehingga menjadi komoditas politik yang digunakan saat tertentu guna mendapatkan keuntungan politik.
"Dari cara pandang ini, ada kalanya SARA dipakai sebagai senjata politik, namun ada saatnya SARA tidak dipakai dalam pertarungan politik," terang alumnus sarjana hukum Universitas Indonesia ini.
Lalu bagaimana Bawaslu mengantisipasi komoditas isu SARA dalam pemilu? Fritz mengatakan, beberapa langkah antisipasi seperti mengatur penggunaan media sosial, pendekatan komunitas atau kelompok, dan melakukan pemantauan kabar bohong serta ujaran kebencian. “Untuk itu, Bawaslu terus menerus mengkaji dan melakukan penelitian,” akunya.
Baca juga: Bawaslu Periksa Saksi Pelapor Pileg DPRD Kalbar
Dia bilang, Bawaslu juga melakukan berbagai langkah antisipasi lewat media social. Bahkan, menggandeng Facebook Asia Tenggara yang turut membantu penanganan ujaran kebencian. "Penyelenggara di luar negeri sampai heran kepada Bawaslu, kenapa bisa mengundang Facebook rapat. Kalau mereka mengundang Facebook, biasanya yang datang hanya pengacara dengan membawa segudang aturan," ungkapnya.
Editor: Ranap THS