Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Bawaslu melakukan deteksi dini beberapa potensi bakal calon peserta Pilkada 2020 yang berpotensi diikuti calon petahana. Menurut Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo, setidaknya dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada, ada 230 daerah yang berpotensi diikuti calon petahana dan bakal calon yang mempunyai relasi dengan kekuasaan atau sering disebut politik dinasti.
Dia mengungkapkan potensi ini didapat dari Indeks Kerawanan Pemilihan (IKP) Tahun 2020 yang telah disusun Bawaslu. Ada beberapa potensi yang bisa terjadi dengan adanya dinasti kepala daerah, misalnya bisa terjadi pemanfaatan anggaran, fasilitas. Lalu bisa juga adanya program pemerintah oleh kerabat yang berkuasa untuk mendukung kerabatnya yang lain dalam pilkada.
“Jadi bisa seperti mobilisasi birokrasi oleh kerabat yang berkuasa untuk mendukung kerabatnya yang lain pada pemilihan kepala daerah,” ungkap Dewi dalam acara Webinar Politik Dinasti dan Tantangan Demokrasi yang diselenggarakan The Indonesian Institute di Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Dewi menjelaskan bentuk politik dinasti yang lain dengan memobilisasi birokrasi aparatur sipil negara (ASN) dan penggunaan fasilitas negara. Menurutnya, ini sangat terbuka luas karena dengan kekuasaan yang dimiliki tentu akan memudahkan akses untuk memanfaatkan kegiatan program dan mendorong memobilisasi ASN. Hal ini bukan hanya bisa terjadi tingkat provinsi saja bahkan bisa sampai pada level camat, lurah/kades.
Oleh karena itu, kata Dewi, langkah antisipasi yang dilakukan Bawaslu terhadap netralitas ASN yaitu Bawaslu melakukan kerja sama /koordinasi dengan Kemendagri serta Komisi ASN (KASN). “Bahkan KASN saat ini sudah melakukan langkah konkrit untuk melakukan sosialisasi tentang netralitas ASN. Mereka juga sudah melakukan kampanye Gerakan Nasional Netralitas ASN untuk Pilkada tahun 2020,” papar perempuan asal Palu itu.
Terkait penyalahgunaan kewenangan, anggaran, program kegiatan, sambung Dewi, Bawaslu bekerja sama dengan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Kami butuh dukungan dari lembaga lain agar jika ada indikasi transaksi keuangan yang dicurigai untuk kepentingan Pilkada 2020 maka itu akan menjadi sumber informasi bagi Bawaslu yang kemudian bisa dilakukan penelusuran, dan kalau misalnya ditemukan adanya unsur-unsur pelanggaran, dan Bawaslu punya alat bukti yang cukup kuat, tentu nanti bisa diproses dalam penanganan pelanggaran,” terangnya.
Lebih lanjut, Dewi menjelaskan politik dinasti atau politik kekerabatan bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara mewariskan/distribusi mesin politik kepada kerabatnya. Praktik Politik dinasti di Indonesia pasca reformasi tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun masif terjadi di tingkat lokal, seperti di daerah Banten dan Sulawesi Selatan.
Berkaitan dengan hal itu, Dewi mengungkapkan, pernah ada upaya pembatasan politik dinasti dengan hukum positif melalui pengaturan syarat calon dalam Pemilihan Kepala Daerah pada UU Pemilihan (UU 1/2015 Jo. UU 8/2015). Norma ini menyebutkan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yang dimaknai tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Tetapi, lanjutnya, norma tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat atau dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015. Alasannya ketentuan tersebut mengandung muatan diskriminasi dan melanggar hak kosntitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Regulasi kita sudah menghindari yang namanya politik dinasti ini dengan mengaturnya di UU 1/2015, tapi kemudian dengan Putusan MK No 33/PUU-XIII/2015 dianggap melanggar hak konstitusional warga negara,” jelas Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu itu.
Fotografer : Christina Kartikawati
Editor :Jaa Pradana