Dikirim oleh Anonim (Belum diperiksa) pada

Jakarta, Bawaslu - Badan Pengawas Pemilu – Lembaga survei pimpinan Burhanuddin Muhtadi, Indikator, merilis data terkait perilaku pemilih Indonesia terhadap praktik politik uang. Hasilnya mengkhawatirkan, sebanyak 41,5 persen responden permisif terhadap politik uang.

Survei itu dilakukan dengan mengambil populasi di 39 daerah pemilihan (dapil). Tiap dapil diambil 400 responden. Wawancara dilakukan pada September-Oktober 2013. Burhanuddin meyakini responden yang diambil mewakili seluruh populasi.

Menurut para responden yang permisif, politik uang dianggap sebagai hal yang wajar saja. Dari 41,5 persen responden yang mengaku bisa menerima politik uang, ditanyakan kepada mereka apakah akan menerima uang atau barang yang diberikan. Hasilnya, sebanyak 55,7 persen mengaku akan menerima, namun memilih calon berdasarkan hati nuraninya.

Lalu, sebanyak 28,7 persen mengaku akan menerima dan memilih calon yang memberikan uang/barang. Sebanyak 10,3 persen akan menerima, namun memilih calon yang memberi uang lebih baik. Hanya 4,3 persen yang mengaku tidak akan menerima pemberian dan 1 persen tidak menjawab.

Menurut Burhanuddin, faktor yang mempengaruhi para responden berperilaku permisif terhadap politik uang, karena kurang dekatnya partai politik terhadap para responden atau pemilih. Jika saja para pemilih merasa dekat dengan parpol, maka keinginan untuk memilih tanpa diberi uang akan semakin tinggi.

Sementara itu, Ketua Bawaslu mengatakan pengalaman serupa di sebuah daerah yang menemukan adanya indikasi masyarakat yang permisif terhadap praktik yang dilarang dalam Pemilu tersebut. Pada saat itu, ia hendak melaksanakan supervise dalam rangka pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Kada.

“Ada spanduk di sebuah daerah ‘x’ yang terpampang jelas dan mengatakan bahwa warga daerah ‘x’ siap menerima serangan fajar. Saya sangat sedih membaca hal tersebut, karena masyarakat sudah permisif dengan politik uang,” tuturnya bercerita, dalam sebuah kesempatan diskusi.

Muhammad menghimbau kepada para pemilih, untuk tidak mengambil atau menerima sedikitpun terhadap calon legislatif yang melakukan praktik tersebut. Praktik semacam itu, menurutnya hanya akan melahirkan para wakil rakyat yang cenderung koruptif di masa mendatang.

“Jangan terima uangnya, jangan pilih orangnya,” tegas Dosen Universitas Hasanuddin tersebut. [FS]