Jakarta, Bawaslu - Iklan partai politik (parpol) di televisi saat ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk kampanye. Padahal, kampanye melalui media elektronik belum diperbolehkan, kecuali hanya 21 hari sebelum masa tenang, yaitu tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014. Karena itu, jika ada parpol yang beriklan di luar dari jadwal tersebut, tentu saja diduga sudah melakukan pelanggaran.
Untuk mengawasi parpol dan lembaga penyiaran menayangkan iklan parpol di luar jadwal tersebut, tiga lembaga negara masing-masing Bawaslu-KPU-KPI membentuk gugus tugas (task force) beberapa waktu lalu. Gugus tugas tersebut dibentuk untuk mencegah adanya bentuk kampanye di media elektronik di luar jadwal. Ketika terjadi pelanggaran, gugus tugas tersebut memberikan teguran dan memprosesnya sebagai bentuk pelanggaran pidana Pemilu.
“Agar iklan-iklan parpol itu tidak muncul lagi di media elektronik sebelum waktu yang diperbolehkan, maka Bawaslu-KPU-KPI akan membahas kesepakatan bersama yang sifatnya penegasan atau larangan untuk menghentikan segala bentuk tayangan iklan parpol di media elektronik,” kata Ketua Bawaslu, Muhammad, usai dialog nasional Mewujudkan Pemilu Berkualitas yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta, Rabu (26/2).
Muhammad mengakui, pihaknya sudah membuat rekomendasi kepada kepolisian terkait sejumlah parpol yang melakukan pelanggaran pidana Pemilu, karena terbukti berkampanye dalam bentuk iklan di media elektronik. Namun, rekomendasi tersebut dijawab kepolisian dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan tidak memenuhi unsur hukum.
Atas peristiwa tersebut, Bawaslu merasa kecewa. Bahkan, Muhammad mengaku telah berdebat dengan Bareskrim Mabes Polri karena menilai kepolisian terlalu kaku dalam memperhatikan unsur komulatif kampanye terhadap iklan parpol di media massa.
Bawaslu, kata Muhammad, juga sangat menyayangkan jika penyidik menghentikan rekomendasi Bawaslu hanya berdasarkan pendapat dari salah satu ahli hukum pidana saja. “Begitu banyak ahli hukum pidana di Indonesia, tetapi hanya satu saja yang dijadikan bahan pertimbangan,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Judhariksawan. Menurutnya, Bawaslu dan KPU lebih memiliki kewenangan untuk menafsirkan kampanye, dan bukan institusi kepolisian. Karena itu, ia berharap Kepolisian dapat memahami dengan baik rekomendasi yang disampaikan oleh penyelenggara Pemilu.
Judhariksawan mengakui, jika ditelisik lebih dalam, dugaan pelanggaran pidana oleh parpol akibat iklan di media elektronik, sebenarnya sudah memenuhi unsur komulatif kampanye, karena dalam iklan tersebut sudah ada lambang partai, ada ajakan, dan ada visi, misi, serta program partai.
Terkait dengan ajakan, Judhariksawan menilai, tidak akan ada partai politik yang akan secara eksplisit menyatakan Ayo Memilih. Justru dengan berusaha meyakinkan pemilih, itu sudah bentuk ajakan dalam kampanye.
“Sedangkan visi dan misi, memang tidak akan ditampilkan secara utuh di dalam iklan parpol. Namun, pesan yang disampaikan merupakan ekstraksi dari visi dan misi serta program. Tidak akan mungkin parpol menyampaikan pesan yang berbeda dari visi, misi, dan program parpol tersebut,” ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Sekjen DPP Partai Golkar, Nurul Arifin mengatakan, iklan partainya di media massa bukan merupakan bentuk kampanye, karena secara substansi tidak ada unsur ajakan untuk memilih. “Kami hanya melakukan sosialisasi, bukan melakukan kampanye. Partai berhak melakukan sosialisasi sejak diberikannya nomor urut,” ujar anggota Komisi II DPR tersebut. *** (hms/fs/sap)