Jakarta, Badan Pengawas Pemilu – Permasalahan aktual dalam persiapan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang akan dilangsungkan kurang dari tujuh bulan kedepan, dinilai bukan lagi berada pada aspek teknis melainkan politis. Kompleksitas politik, baik di tingkat nasional maupun daerah yang terjadi membuat situasi kurang kondusif dan berdampak pada psikologi daerah dalam mempersiapkan pilkada. Apabila hal ini tidak diantisipasi dengan kepemimpinan yang tegas pada tingkat nasional, dikhawatirkan dapat memicu lahirnya masalah lanjutan yang bisa menjadi tidak terkendali dikemudian hari.
“Saya kira diakui atau tidak, (problem) ini berdampak pada psikologi politik daerah, apakah itu pemdanya atau penyelenggaranya. Dan hampir di banyak wilayah, kalau menyangkut pilkada semua dalam posisi yang ragu-ragu. Jadi situasi itu adalah situasi yang kita katakan tidak kondusif,” kata Anggota Komisi II DPR RI, Arif Wibowo Diskusi Publik bertema “Tahapan Pencalonan di Depan Mata, Bagaimana Kesiapan KPU, Bawaslu, dan Pemerintah Daerah” yang diselenggarakan di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat (22/5). Diskusi publik itu juga menghadirkan narasumber lain, yakni Pimpinan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Nasrullah, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, dan Direktur Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Syarifuddin.
Arif mengungkapkan problem politik yang dimaksud, salah satunya tercermin dari belum tuntasnya persoalan penganggaran penyelenggaraan pilkada di daerah. Baik anggaran untuk KPU, maupun untuk Bawaslu. Dari 269 daerah yang akan melaksanakan pilkada, berdasarkan data Kemendagri dan KPU baru 209 daerah yang telah menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) anggaran KPU, sementara untuk NPHD anggaran pengawas pemilu, baru ditandatangani di 44 daerah.
Munculnya wacana revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kata Arif, dinilai menambah pelik persoalan. “Kalau dari sisi legislasi, dilihat sikap pemerintah yang tidak mau revisi, ditambah fraksi-fraksi yang tidak setuju revisi, pasti tidak akan ada revisi. Akan tetapi coba kita cek di lapangan, terutama dari partai-partai politik yang meyakini bahwa revisi ini akan jalan. Ini nanti berpengaruh juga pada kesiapan dari para peserta dan berdampak pada sikap dalam kelancaran persiapan,” paparnya.
Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, Presiden Joko Widodo memiliki posisi strategis di tengah banyaknya persoalan jelang pilkada serentak seperti belum tuntasnya penganggaran pilkada, keraguan daerah mengenai kepastian jadwal pilkada serentak, dan lainnya. Dia mendorong Presiden mengeluarkan instruksi guna memastikan proses penyelenggaraan pilkada 9 Desember 2015 bisa dilaksanakan secara baik, tertib, dan tepat waktu.
“Kita berharap pemerintah ini tegas. Bisa saja presiden keluarkan inpres, memastikan pada semua daerah untuk suka tidak suka, mau tidak mau melaksanakan pilkada. Dan itu nanti akan diikuti dengan satu kebijakan yang sifatnya instruktif. Karena kalau tidak ada ketegasan dari aspek kebijakan dan dorongan politik, maka akan menyebabkan situasinya jadi tambah rumit,” tandasnya.
Dalam situasi dan kondisi politik yang dianggapnya tidak cukup kondusif ini, Arif mengatakan semua pihak harus bisa berkoordinasi, bekerjasama, dan menjelaskan secara pasti kepada seluruh pemangku kepentingan di provinsi dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada. Namun yang paling penting, menurutnya adalah kepastian yang disampaikan oleh pemerintah dalam hal ini presiden.
Komisi II DPR sendiri, tambah dia, akan melakukan kunjungan spesifik ke tiap daerah yang akan pilkada. “Untuk melihat problem yang terjadi di tiap daerah tersebut untuk kemudian ditindaklanjuti dalam berbagai hal,” imbuhnya. Dari hasil kunjungan itu, nantinya Komisi II DPR bisa saja mendorong adanya perbaikan peraturan, ataukah memberikan subsidi dari APBN kepada daerah-daerah yang tidak mampu dalam melaksanakan pilkada.
Penulis : Haryo Sudrajat