• English
  • Bahasa Indonesia

Melalui Disertasinya, Sekjen Bawaslu Tawarkan Formulasi Pemilu Paralel pada 2024

Sekretaris Jenderal Bawaslu Gunawan Suswantoro saat menerima gelar Doktor Bidang Ilmu Politik dari Universitas Pascasarjana Padajajaran Bandung, Senin (25/02/2019)

Bandung, Badan Pengawas Pemilihan Umum –Sekretaris Jenderal Bawaslu Gunawan Suswantoro, menawarkan formulasi Sistem Pemilu Paralel atau Mixed Member Majoritharian (MMM) untuk menggantikan sistem proporsional yang selama ini digunakan dalam Pemilu di Indonesia.

Sistem yang Saya tawarkan merupakan pencampuran dari majoritharian (distrik) dan proporsional daftar baku. Majoritharian dengan proporsi 18 persen proporsional daftar baku dengan proporsi 82 persen dari 575 kursi di DPR. Mekanisme pencalonan proprosional dengan daftar baku memberikan ruang otoritas bagi partai politik untuk menentukan bakal calon legislatif yang akan duduk di DPR.

Hal tersebut disampaikan Gunawan saat memaparkan disertasinya yang berjudul  Implikasi Sistem Pemilu Terhadap Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan  Sistem  Presidensial  Pada Era Susilo Bambang Yudhoyono, di Universitas Pascasarjana Padjajaran Bandung, Senin (25/2/2019).

Dalam disertasinya, Gunawan menguraikan bahwa, meskipun rezim pemerintahan berganti seiring perubahan elite politik yang terjadi melalui Pemilu, namun relasi yang kompleks antara presiden dan DPR terus berulang. Berdasarkan hasil penelitian dan analisisnya, Sistem pemilu proporsional terbuka disinyalir sebagai faktor utama dari kompleksitas relasi antara Presiden terutama dalam persetujuan kebijakan dengan DPR.

Kondisi ini tampak jelas, sambung Gunawan, karena terjadi pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Sehingga memunculkan pertanyaan penelitian dalam disertasi ini yaitu, Bagaimana proporsionalitas sistem pemilu di Indonesia memengaruhi komposisi partai politik di DPR yang dapat berdampak pada kinerja sistem pemerintahan Presidensial?

Hasil penelitian disertasi ini, Gunawan menemukan empat hal penting. Pertama, di antara pemilu 1999-2014, bisa dikatakan sistem pemilu 2009 yang paling tidak proporsional. Indeks Least Square Pemilu 1999 menunjukkan angka 3,19. Disusul Pemilu 2004di angka 4,16, Pemilu 2009 sendiri di angka 6,15, dan terakhir Pemilu 2014 di angka 2,45. Semakin besar angka menunjukkan bahwa sistem pemilu semakin tidak proposional.

Kedua, lanjut dia, sistem proporsional terbuka; jumlah peserta pemilu yang banyak, metode konversi suara dengan Kuota Hare; dan Suara habis dibagi di provinsi atau dapil. Ketiga, jumlah partai dalam parlemen melebihi ENPP, misal pada Pemilu 2004 angka ENPP sebesar 7,08, artinya hanya 7 dari 16 partai yang efektif meperngaruhi kebijakan sedangkan 9 partai sisanya tidak efektif memengaruhi kebijakan. Terakhir, pola koalisi pada saat pemilu tidak sama dengan koalisi pemerintahan.

Ketiga, Sistem Pemilu MMM ini memunculkan kebutuhan pengaturan ulang daerah pemilihan (dapil) DPR RI. Berdasarkan proporsi pembagian jumlah kursi 18% majoritarian dan 82% proporsional daftar baku serta untuk mempertemukan jumlah kursi (district magnitude) antara 2 s/d 6 di setiap daerah pemilihan, maka dibutuhkan sebanyak 106 daerah pemilihan. Ketiga, Penentuan district magnitude 2 s/d 6 diharapkan dapat menyederhanakan jumlah partai politik yang masuk di DPR, sehingga diharapkan partai politik di DPR yang efektif mempengaruhi pembahasan kebijakan dapat terwujud dan pada gilirannya akan mengefektifkan berjalannya pemerintahan.

Keempat, Metode konversi suara menjadi kursi dengan menggunakan metode Sainte Lague Modifikasi (Divisor 1,4; 3; 5; 7; dst). Penggunaan metode ini diharapkan dapat mendorong upaya penyederhanaan partai politik dengan cara yang lebih moderat. Selain itu, metode ini memberikan insentif terhadap partai besar, namun masih memberi ruang bagi partai menengah untuk dapat terpilih menjadi bagian dari lembaga legislatif. Kelima,  metode coblos sebagai cara menghindari kesalahan pemilih dalam memilih sehingga banyak suara yang hilang karena dianggap tidak sah.

Keenam, Berkaitan dengan waktu penyelenggaraan pemilu, Gunawan mengusulkan pelaksanaan pemilu serentak secara nasional untuk pemilihan Presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan pemilu di daerah dilaksanakan serentak untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota, dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang diselenggarakan dalam waktu 30 bulan setelah pelantikan Presiden. Pilihan jeda waktu 30 bulan didasari alasan agar Presiden terpilih dapat menjalankan sebagian besar dari programnya terlebih dahulu.

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu