Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Anggota Bawaslu Ratna Dewi Petalolo menilai, politik uang masih menjadi tren pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020. Pasalnya, masih ada celah hukum dalam menindak pelaku politik uang.
"Kita berkaca pada penyelenggaraan pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018 belum ada pengaturan yang tegas terhadap pelaku politik uang," ujarnya dalam menanggapi pertanyaan oleh partisipasi terkait politik uang pada diskusi berjudul: Tantangan Pemilihan Provinsi Sulawesi Tengah di Tengah Pandemi Covid-19, Rabu (29/4/2020).
Lebih lanjut Dewi menjelaskan, ada tiga hal yang menghambat proses penegakan hukum dalam menindak politik uang. Pertama, faktor substansi hukum. Menurutnya, para pelaku politik uang harus memenuhi unsur terstruktur, masif, dan sistematis (TSM). Ketiga unsur tersebut menjadi hal krusial dalam penanganan politik uang tercantum dalam Undang-Undang (UU) 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada.
"Terhadap persoalan yang sudah kita laksanakan sebelumnya apabila pelaku hanya memenuhi salah satu unsur TSM, maka tidak dimungkinkan untuk melakukan kelanjutan dan pemberian sanksi, "ujarnya
Kedua, faktor struktur hukum. Dewi menegaskan, penyelesaian politik uang tidak bisa diselesaikan oleh sepihak, namun harus melibatkan tiga institusi yaitu Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
"Sepanjang belum bisa dibuktikan seperti alat bukti, kemudian ada saksi yang memberikan keterangan kejadian peristiwa dan juga harus juga ada dukungan kesamaan hukum dari Kepolisian dan Kejaksaan," aku dia.
Hal ketiga, lanjutnya, budaya hukum. Dewri berpandangan, untuk memahami adanya kesadaran tentang politik uang harus dilandasi dengan kesadaran bersama. Peran pasangan calon dan masyarakat baginya harus mengubah pola pikir yang akan berdampak kepada budaya sosial.
"Baik pasangan calon maupun masyarakat harus mengubah cara pandang. Bukan hanya sekadar memberikan saja namun mengubah pola pikir yang nanti akan berdampak permisif", ujarnya
Dewi menambahkan, untuk mencegah terjadinya praktik politik uang bisa dilakukan melalui dua tahap yaitu, pendidikan formal dan non formal. Dirinya mencontohkan pendidikan formal misalnya harus ada program dan peran partai politik guna memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sementara pendidikan non formal yaitu program pendidikan yang dilakukan oleh penyelenggara yang kini dilakukan secara berjenjang.
"Ada maupun tidak ada pemilu Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota terus melakukan kegiatan secara menerus melibatkan pikak sekolah, perguruan tinggi, dan mahasiswa untuk terus menyosialisasikan bahaya politik uang," imbuhnya.
Dewi berharap, praktik politik uang pada penyelenggaraan pilkada mendatang dapat diminimalisir. Baginya, bahaya politik uang berimplikasi kepada siapa pun yang melakukan praktik kotor tersebut. "Politik uang adalah kejahatan besar dalam proses berdemokrasi", tutupnya.
Editor: Ranap THS