Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Di depan peserta seminar yang diadakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan prinsip pelaksanaan penyelesaian sengketa proses pemilu melalui mediasi.
Bagja mengatakan, proses penyelesaian sengketa pemilu diatur dalam Pasal 466 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Menurutnya, yang menjadi objek mediasi adalah surat keputusan (SK) dan berita acara (BA) yang dikeluarkan KPU.
Dia menjelaskan, BA dapat dijadikan objek mediasi karena pada tahapan Pemilu 2019 lalu, KPU melalui BA pernah tidak meloloskan Partai Bulan Bintang dikarenakan dianggap tidak memenuhi syarat (TMS) akibat keanggotaan kepengurusan kabupaten/kota tak memenuhi syarat 75% sesuai Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2017.
"Sebenarnya di UU objeknya hanya SK. Namun karena KPU pernah menjadikan BA sebagai dasar keputusan, maka BA juga kami jadikan objek sengketa," sebutnya di Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Bagja menambahkan, mediasi bersifat tertutup karena hanya dihadiri oleh pemohon, termohon, dan mediator. Selain itu sifatnya rahasia karena segala pernyataan dalam bentuk lisan dan tulisan dalam proses mediasi tidak boleh diungkap ke publik. Hal ini sekaligus menjadi alat bukti dalam proses pembuktian pada sidang ajudikasi.
Kemudian dalam mediasi, lanjutnya, mediator hanya memfasilitasi proses mediasi dan tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benar terhadap pernyataan para pihak atau mendukung pendapat dari salah satu pihak. Bagja memastikan mediator pun tidak memaksakan pendapat dan penyelesaian kepada para pihak.
"Itulah salah satu prinsip pelaksanaan mediasi sengketa proses pemilu," ungkap dia.
Sementara itu mantan Wakil Presiden Jusuf Kala menilai, seorang mediator harus orang yang independen dan menguasai masalah yang menjadi objek sengketa.
"Ada prinsip netralitas dalam diri mediator namun tetap harus memahami masalah," tuturnya.
Editor: Ranap THS