Submitted by Bintang Ayudia on
Forum Diskusi “Menakar Dampak Putusan MK terhadap Kontestasi 2029” di Media Center, Gedung Bawaslu RI, Rabu (9/7/2025)/Foto: Publikasi dan Pemberitaan Bawaslu

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Bawaslu menyerahkan sepenuhnya tindak lanjut putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal kepada DPR. Sebagai pelaksana Undang-Undang (UU), Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyatakan Bawaslu siap memberikan pertimbangan-pertimbangan terkait putusan MK.

“Semua keputusan soal penjadwalan pemilu dan pilkada kami serahkan kepada DPR dan Pemerintah. Kami (Bawaslu) hanya bisa menyarankan berdasarkan pengalaman pengawasan yang kami jalankan di lapangan,” ujar Bagja pada Diskusi “Menakar Dampak Putusan MK terhadap Kontestasi 2029” di Media Center, Gedung Bawaslu RI, Rabu (9/7/2025).

Bagja menjelaskan waktu pelaksanaan yang berdekatan antara pemilu dan pilkada pada 2024, dapat memunculkan sejumlah persoalan. Terlebih lagi, tambah dia, gelaran Pilkada Serentak 2024 bukanlah pilkada biasa. “Pilkada kita ini bukan per provinsi, tetapi seluruh Indonesia. Maka harus dipahami sebagai pemilu nasional dalam bentuk lokal. Kompleksitasnya setara,” tegasnya.

Dia menjabarkan dari aspek proses penyelenggaraan, waktu yang berdekatan berpotensi mengganggu kualitas pelaksanaan dan pengawasan pemilu. Bagja mencontohkan, jika Pemilihan Presiden (Pilpres) berlangsung dua putaran, maka tahapannya akan bersinggungan langsung dengan masa pencalonan dan kampanye pilkada. 

"Hal ini menyebabkan gangguan pada fokus pengawasan di daerah dan pusat, Ini bukan hanya soal waktu yang sempit. Ini soal benturan tahapan yang bisa melemahkan pengawasan. Fokus pengawasan di daerah bisa terganggu karena masih tersita untuk tahapan pusat,” ujarnya.

Persoalan lainnya, Bagja melanjutkan, keserentakan pemilu nasional dan lokal membuat partai politik harus mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam mengusulkan calon kepala daerah. Selain itu bagi pemilih, cenderung akan jenuh menggunakan hak pilihnya karena dalam satu tahun mereka akan memilih dari bulan Februari hingga November. Bahkan aktivitas mencoblos dapat bertambah dalam hal suatu daerah terjadi Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Dia menambahkan, dengan adanya jeda waktu minimal dua tahun antara pemilu dengan pilkada, proses perencanaan, pemutakhiran data pemilih, dan edukasi pemilih dapat dilakukan lebih optimal. “Dengan adanya jeda waktu yang cukup, proses pendidikan politik tetap berjalan dan diharapkan menghasilkan kualitas pemilih yang lebih baik,” kata Bagja.

Sebagaimana diketahui pada Kamis 26 Juni 2025 telah dibacakan putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Mahkamah Kontitusi menyatakan Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dilaksanakan dalam waktu paling waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan Anggota DPR dan Anggota DPD atau Presiden/Wakil Presiden. 

Sebagai informasi, pemilu nasional adalah pemilihan umum yang memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat nasional (DPR dan DPD) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden sedangkan untuk pemilu lokal adalah pemilihan umum atas anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.

Editor: Reyn Gloria
Foto: Bintang Ayudia