Submitted by Bhakti Satrio on
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (kanan) saat menjadi narasumber dalam Sekolah Demokrasi (Sekdem) VIII yang dilakasanakan di Universitas Paramadina, Jumat (28/11/2025).

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum – Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengingatkan untuk mewaspadai berbagai modus baru dan celah hukum terkait praktik politik uang menjelang Pemilu Serentak 2029. Menurut Bagja, meskipun secara statistik jumlah kasus tindak pidana politik uang pada Pemilu 2024 menurun dibandingkan Pemilu 2019, realitas di lapangan menunjukkan, praktik ini tetap ada dengan memanfaatkan celah regulasi. 

 

Menurut Bagja, jumlah kasus yang terbukti bukanlah indikasi penurunan praktik politik uang secara keseluruhan, melainkan perbedaan kategori dalam ketentuan pidana. Dia menjelaskan, beberapa tindak pidana politik uang kini dikategorikan berbeda, misalnya bagi-bagi hadiah atau penggunaan bantuan sosial, sehingga tidak terhitung sebagai politik uang dalam konteks pidana tertentu.

 

“Karena ada tindak pidana politik uang yang dikategorikan misalnya bagi-bagi hadiah dikategorikan tidak sebagai politik uang. Atau penggunaan bantuan sosial sebagai tindak pidana politik uang, itu dibedakan dalam ketentuan pidananya,” katanya saat menjadi narasumber dalam Sekolah Demokrasi (Sekdem) VIII yang dilakasanakan di Universitas Paramadina, Jumat (28/11/2025).

 

Bagja menilai, praktik politik uang di lapangan hampir sama atau tidak mengalami penurunan signifikan, hanya mengalmi perubahan modus. Dia melanjutkan ,salah satu modus baru yang diwaspadai adalah penggunaan relawan untuk melakukan pembagian uang. 

 

Karena sebagian besar politik uang dilakukan di tahapan kampanye, para pelaku menggunakan relawan yang tidak tercantum dalam struktur tim kampanye resmi untuk menyiasati ketentuan tersebut. “Itu kemudian yang agak berbeda menurut kami. Jadi pembagian uang terjadi. Kita tidak bisa menafikan kalau tidak terjadi pembagian uang,” lanjutnya. 

 

Selain itu, Bagja juga menyoroti adanya celah hukum dalam pemungutan suara ulang (PSU). Dia menganggap, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menjelaskan secara spesifik mengenai masa tahapan saat PSU, yaitu apakah itu saat pemungutan suara, sebelumnya, atau saat masa tenang, yang kemudian menciptakan area abu-abu dalam pengawasan. 

 

Bagja mengakui bahwa pembagian uang tidak dapat dinafikan telah terjadi, dan kebanyakan dilakukan di tempat-tempat dengan tingkat pendidikan serta wilayah ekonomi yang rendah. Dia mencontohkan,modus terbaru yang paling mengkhawatirkan adalah penggunaan doorprize sebagai kedok politik uang. 

 

Bagja menjelaskan, pada Pemilu 2019, terdapat pembatasan nilai doorprize sebesar Rp 1 juta per orang, tetapi aturan ini ditiadakan pada Pemilu 2024. Akibat tidak adanya pembatasan, hadiah doorprize menjadi lebih marak dengan nilai fantastis, seperti rumah dan paket umroh. Menurut Bagja, hadiah besar ini digunakan untuk menarik massa secara masif, yang secara efektif berfungsi sebagai politik uang terselubung.

 

Fotografer: BSW

Editor: Dey