Makassar, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengingatkan, kewenangan Bawaslu dalam pengawasan Pilkada 2020 tetap menggunakan Undang Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada. Hal ini dia ungkapkan setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang mengubah frasa Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu tingkat kabupaten/kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang telah permanen sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Putusan itu bukan mengubah keseluruhan kewenangan," tegasnya dalam Rakornas Sumber Daya Manusia dalam Rangka Pilkada 2020 di Sulawesi Selatan, Senin (3/2/2020).
Dia menilai, hal tersebut penting disampaikan kepada seluruh jajaran Bawaslu agar tidak melakukan kesalahan. Dewi mengungkapkan, ada beberapa perbedaan kewenangan dalam UU Pilkada 10/2016 dengan UU Pemilu 7/ 2017.
"Perlu percepatan penyampaian tentang keberlakuan norma UU Nomor 10 Tahun 2016 dan tidak salah memahami putusan MK," ucapnya.
Dewi menegaskan, putusan MK tersebut harus dipahami jajaran Bawaslu sampai ke tingkat pengawas Ad hoc (sementara). Hal ini supaya mereka bisa mempersiapkan kerja-kerja pengawasan dan penegakan hukum pemilu secara baik.
Akademisi Universitas Tadulako Palu itu memberikan contoh, pada kewenangan penanganan pelanggaran. Dalam UU 7/2017, Bawaslu mempunyai masa kerja cukup lama yakni 14 hari untuk menangani dugaan pelanggaran. Sehingga kerja-kerja registrasi, pembahasan kasus, penyusunan kajian dilakukan secara baik.
Akan tetapi, lanjut Dewi, kewenangan penanganan pelanggaran dalam UU 10/2016 sangat pendek yakni lima kerja. Pengawas pemilu yang selama dua tahun menangani dugaan pelanggaran Pemilu 2019 ini telah terbiasa menggunakan alokasi waktu cukup panjang. "Ini bisa jadi akan mempengaruhi kualitas kerja kelembagaan. Apalagi UU 10/2016 dapat dipastikan tidak akan direvisi," pungkasnya.
Editor: Ranap THS
Fotografer: Abdul Hamid