Dikirim oleh Rama Agusta pada
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (tengah) dalam focus group discussion (FGD) bertema Putusan Pidana Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2021 dan Efektifitas Penegakannya yang berlangsung di Jakarta, Jumat 19 Maret 2021/Foto: Humas Bawaslu RI

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menilai perlunya dekriminalisasi untuk untuk pasal-pasal pidana dalam UU Pemilihan sebagai proses penegakan hukum pemilu atau pemilihan. Perlu diketahui, dekriminalisasi berarti mengurangi perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana untuk dicarikan formula sanksi yang lebih efektif.

"Saya pikir perlu dilakukan dekriminalisasi dalam UU Pemilihan," ujar perempuan yang biasa disapa Dewi ini dalam diskusi bersama para pegiat pemilu berbentuk acara focus group discussion (FGD) bertema Putusan Pidana Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2021 dan Efektifitas Penegakannya di Jakarta, Jumat (19/3/2021)

Menurutnya tak semua pelanggaran dalam pemilihan (pilkada) dibawa ke ranah hukum pidana pemilu atau pemilihan, tetapi bisa dimasukkan dalam hukum administratif. “Memang dari segi sisi politik hukum dari pembentuk UU (DPR) pemilihan saat itu ada alasan yang melihat adanya sejumlah perbuatan yang berkaitan dengan pemilihan yang berbahaya,” tutur dia.

Dalam pelaksanaannya, lanjutnya, ada indikasi kriminalisasi ketentuan pidana yang pada akhirnya tak efektif penerapannya. "Tren pelanggaran pemilihan kecenderungannya selalu naik," ungkap Dewi.

Dewi mengatakan berkaca dalam pelaksanaan Pemilu 2019 terdapat 66 pasal ketentuan pidana dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, namun pelaksanannya tidak sampai 50 persen pelanggar terbukti dapat dijerat dengan ketentuan pidana pemilu. Sedangkan dalam Pilkada Serentak 2020, tutur Dewi, hanya sekitar 19 ketentuan pidana yang terbukti sampai proses di pengadilan negeri hingga pengadilan tinggi.

"Faktanya dalam pelaksanaannya ketentuan pasal pidana diterapkan tidak sampai 50%. Dan itu tidak efektif," tegas Dewi.

Oleh karena itu, dirinya berharap proses penegakan hukum pidana pemilu perlu didiskusikan lebih lanjut. Hal ini bagi Dewi penting lantaran penanganan pelanggaran pidana oleh Bawaslu kerap dijadikan rujukan bagi Mahkamah Konstitusi (MK).

Sekadar informasi, FGD tersebut dihadiri pihak eksternal yakni, Sekjen KIPP Kaka Suminta, Peneliti muda KoDe Inisiatif, dan dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Ahsanul Minan dengan tujuan mendapatkan masukan berdasarkan perspektif eksternal dalam penegakkan hukum pemilu.

Editor: Ranap THS
Fotografer: Rama Agusta