Dikirim oleh Nofiar pada
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja di forum Mahkamah Kehormatan Dewan, Dewan Perwakilan Rakyat (MKD DPR RI) bertajuk Perbandingan Peradilan Etik di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Lembaga Negara Independen: Pertimbangan Muatan Etik Materiil dan Formil, di Bogor, Jawa Barat, Senin (17/11/2025)

Bogor, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menegaskan, penegakan etika merupakan fondasi utama dalam menjaga legitimasi penyelenggara negara dan kepercayaan publik. Ia menilai etika harus bekerja sebagai instrumen kelembagaan yang berdampingan dengan hukum untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang berintegritas.

 

“Etika harus menjadi prasyarat moral bagi setiap pejabat publik. Ketika nilai dan prosedurnya tertata dengan baik, integritas bukan hanya dibicarakan, tetapi benar-benar bekerja sebagai landasan penyelenggaraan negara,” paparnya di forum Mahkamah Kehormatan Dewan, Dewan Perwakilan Rakyat (MKD DPR RI) bertajuk Perbandingan Peradilan Etik di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Lembaga Negara Independen: Pertimbangan Muatan Etik Materiil dan Formil, di Bogor, Jawa Barat, Senin (17/11/2025).

 

Bagja mengatakan, perkembangan peradilan etik pascareformasi serta tantangan fragmentasi sistem etik masih dirasakan di berbagai lembaga. Menurutnya, berbagai lembaga negara telah membangun mekanisme etik masing-masing, mulai dari MKD, Komisi Yudisial, DKPP, hingga organ etik di lembaga independen lainnya. Namun perbedaan struktur, standar, dan prosedur menyebabkan tidak adanya ukuran nasional yang benar-benar seragam.

 

Kondisi tersebut, kata Bagja, dapat memunculkan fenomena “pulau-pulau etik”, ketika satu tindakan bisa dinilai berbeda di berbagai lembaga. “Etik antarlembaga itu sederhana: kita bekerja dengan kewenangan yang jelas, saling menghargai, dan tidak membuat keputusan yang bisa merugikan pihak lain maupun publik,” katanya.

 

Ia mengakui pentingnya membedakan norma etik materiil dan formil. Nilai materiil, seperti integritas, imparsialitas, dan kepantasan, menurutnya menjadi inti penilaian moral pejabat publik. Namun tanpa norma formil berupa tata beracara yang terstandar, proses etik rawan subjektivitas. “Penilaian etik tetap membutuhkan prosedur yang jelas. Tanpa itu, tafsir dapat berbeda-beda dan membuka ruang bias,” tegasnya.

 

Dalam praktik pengawasan, ia mencatat adanya irisan hukum yang membuat satu peristiwa dapat diperiksa melalui berbagai jalur sekaligus. Situasi ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik. Dalam beberapa kasus, putusan etik bahkan tidak sejalan dengan putusan administrasi, menandakan perlunya batas yang tegas antara tanggung jawab kolektif dan personal pejabat publik.

 

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, Bagja mencontohkan berbagai perilaku yang secara hukum mungkin tidak dapat dijangkau, tetapi berdampak pada netralitas dan martabat penyelenggara. Menurutnya, peradilan etik berperan penting dalam menilai tindakan-tindakan yang berada di wilayah abu-abu tersebut. 

 

“Ada banyak situasi yang tidak melanggar aturan tertulis, tetapi secara etik dapat mengganggu kepercayaan masyarakat. Di sinilah fungsi etik sebagai kompas yang menjaga marwah jabatan,” ucapnya.

 

Karena itu, ia mendorong penguatan sistem etik nasional yang lebih harmonis, bukan untuk menyeragamkan secara kaku, melainkan memastikan penegakan etika berlangsung adil, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan di seluruh cabang kekuasaan.

 

Kehadiran Bagja sebagai narasumber di forum diskusi bersama tenaga ahli dan sekretariat MKD DPR ini, bertujuan untuk berbagi pengalaman, memperluas pemahaman, serta memperkuat kapasitas kelembagaan MKD DPR.

 

 

Fotografer: Nofiar

Editor: Dey