• English
  • Bahasa Indonesia

Dihadapan Mahasiswa Unila, Herwyn Jelaskan Perbedaan Sengketa Proses Pemilu dan Sengketa Proses Pemilihan

Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda (depan dua dari kiri) menjadi narasumber dalam Seminar Nasional yang digelar Unila di Lampung, Sabtu (13/7/2024)/foto: Humas Bawaslu Lampung

Bandar Lampung, Badan Pengawas Pemilihan Umum- Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda menjelaskan perbedaan sengketa proses pemilu dan sengketa proses pemilihan (Pilkada) saat Seminar Nasional BEM Fakultas Hukum Universitas Lampung, Sabtu (13/7/2024). Menurutnya, penting bagi masyarakat dan mahasiswa mengetahui perbedaan tata cara penyelesaian sengketa proses pemilu dan pemilihan.

Perbedaan pertama, kata dia, sengketa proses pemilu di Bawaslu mengenal dua proses, yaitu proses mediasi dan proses ajudikasi. Sementara, dalam sengketa pemilihan tidak mengenal istilah itu, hanya dikenal tentang musyawarah.

"Oleh Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2020 kami mengartikannya, musyawarah terbuka dan musyawarah tertutup," ujarnya saat Seminar Nasional dengan tema Potensi Sengketa dan Tantangan Menghadapi Pilkada Serentak Tahun 2024 itu.

Perbedaan kedua, lanjut dia, sengketa proses pemilu hanya di PTUN. Sementara, pemilihan bisa sampai ke Mahkamah Agung. Perbedaan ketiga, sambung dia, mekanisme koreksi yang dilakukan Bawaslu RI terhadap putusan Bawaslu di daerah dalam pemilu dan pemilihan.

“Di pemilu terdapat mekanisme koreksi oleh Bawaslu RI terhadap putusan Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota dan Bawaslu RI mendeteksi itu lewat Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS). Sengketa proses pemilihan tidak ada mekanisme koreksi, putusan itu mengikat,” kata Koordinator Divisi SDM dan Organisasi itu.

Selain itu, ada juga perbedaan dalam melakukan penanganan pelanggaran. Herwyn menjelaskan Bawaslu diberikan waktu selama 7+7 hari kerja, semen tara dalam penanganan pelanggaran pemilihan 3+2 hari kalender.

"Bawaslu hanya menangani sengketa proses, sedangkan sengketa hasil kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) RI," jelasnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi RI Suhartoyo menjelaskan sebenarnya sengketa pilkada bukanlah kewenangan MK yang diturunkan dari konstitusi. Kewenangan MK yang diturunkan dari konstitusi, kata dia, pertama JR (Judicial Review).

Kedua, kata dia, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, ketiga berkaitan dengan pembubaran partai politik, keempat PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum), kemudian berkaitan impeachment.

“Nah, kewenangan MK dalam mengadili sengketa pilkada sebenarnya hanya diturunkan dari UU Nomor 10 Tahun 2016 pada Pasal 157 ayat 3. Itupun sebenarnya dibatasi hingga terbentuknya peradilan khusus tentang pemilu. Yang seharusnya batas waktunya itu adalah Pilkada Serentak 2024 nanti,” kata dia.

Pelaksana Tugas Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menjelaskan sengketa pemilihan yaitu sengketa proses dan sengketa hasil. Sengketa proses, kata dia, dilakukan oleh Bawaslu dan PTUN. Sementara sengketa hasil oleh MK.

Dalam diskusi tersebut, Afif mengulas putusan MK terkait dengan Pilkada 2020 lalu. "Pilkada 2020 terdapat 22 putusan MK yang dikabulkan yaitu penetapan pasangan calon satu putusan, diskualifikasi Calon dan pemungutan suara ulang tiga putusan, pemungutan suara ulang (PSU) 17 putusan, dan penghitungan suara ulang satu putusan," jelasnya.

“Jadi rata-rata berkaitan dengan perolehan suara langsung. Ini harus diantisipasi agar kalaupun ada jangan banyak-banyak. Kalau enggak ada, kan enggak mungkin juga,” sambungnya.

Penulis dan Foto: Aris Munandar (Humas Bawaslu Provinsi Lampung)
Editor: JRP

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu