Submitted by falcao on

Jakarta, Badan Pengawas Pemilu – Polemik tentang persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) masih terus berlanjut. Saat ini ada dua polar, yakni menolak Perppu yang berarti Pilkada dengan sistem perwakilan atau menerima Perppu dengan sistem langsung.

Namun, diyakini kedua sistem ini tidak akan maksimal dijalankan jika partai politik (parpol) di Indonesia tidak berubah. Disfungsi parpol yang selama ini menjadi salah satu sumber masalah dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

“Jantung dalam membangun bangsa adalah parpol. Kita jangan hanya terpengaruh pada mekanisme pemilihan. Tetapi yang utama adalah reformasi terhadap parpol,” kata Peneliti Senior Politik LIPI, Siti Zuhro, saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi Hasil Pengawasan dan Penanganan Pelanggaran serta Persiapan Pengawasan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (10/12).

Menurut wanita yang akrab dipanggil Wiwiek tersebut, Pemilu dengan model apapun tidak akan berhasil dan tetap muncul ekses negatif, dengan partai politik yang ada sekarang. Perbaikan terhadap parpol bukan menjadi tanggung jawab parpol itu sendiri saja, melainkan tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan terhadap perubahan bangsa ini.

Dia mengatakan, kondisi partai politik sekarang sangat ironis. Politik yang dijalankan belum mencerminkan kepentingan masyarakat luas. Terkadang, politik yang dijalankan lebih kepada eksistensi parpol dalam meraih kekuasaan.

“Jika partai seperti ini, satu partai saja bisa terpecah-pecah, dan cenderung memikirkan kepentingan kelompoknya masing, maka jangan harap Pemilu akan baik. Mau model apapun akan sama saja,” ketus Siti.

Sementara itu Direktorat Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD dan Hubungan Antar Lembaga Anselmus Tan mengatakan Sejak Perppu keluar, Kementerian Dalam Negeri selalu optimis Perppu ini dapat diterima.

Dalam penyusunan Perppu tersebut, pemerintah berupaya semaksimal mungkin agar biaya Pemilihan efisien. Pertama, Pilkada bersumber dari APBN. Selama ini biaya Pilkada hampir tidak standar, tergantung hubungan baik antara KPU dan Pemda, Kedua adalah pelaksanaan Pilkada dilaksanakan serentak yangg ditetapkan oleh KPU.

“Kita ingin membangun pemilu serentak, agar kaki kuat di legislatif. Ini pembelajaran, berkaca dari Ahok yang kaki nya sangat lemah di legislatif (DPRD). Ketiga, pembiayaan kampanye juga oleh APBN lewat KPU. Terakhir, pembatasan dana kampanye calon kepala daerah,” pungkasnya.

 

Penulis           : Falcao Silaban

Editor             : Ahmad Ali Imron