Muaro Jambi, Badan Pengawas Pemilihan Umum – Anggota Bawaslu, Puadi, menegaskan bahwa literasi data kini menjadi kompetensi strategis bagi jajaran pengawas Pemilu. Puadi menyoroti bahwa Pemilu serentak 2024 telah membuktikan bahwa pengawasan tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode konvensional.
"Kita telah memasuki era mahadata pemilu, yang mencakup data pemilih, data logistik, laporan digital, hingga dinamika di media sosial. Tantangannya bukan sekadar ketersediaan data, tetapi kemampuan kita mengolah, membaca, dan menafsirkan data untuk kepentingan pengawasan," ujar Puadi dalam kegiatan Literasi Data Pengawas Pemilu di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, pada Kamis (4/12/2025).
Puadi mencontohkan, pentingnya literasi data terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Menurutnya, putusan ini menandai babak baru dalam desain Pemilu, termasuk penataan ulang Daerah Pemilihan (Dapil), tata kelola pemutakhiran data pemilih, dan model pencalonan.
Redesain pemilu ini, lanjut Puadi, tidak mungkin diimplementasikan secara efektif tanpa kesiapan data di Bawaslu, terutama dalam hal pengawasan pemutakhiran data pemilih yang akurat; pengawasan penataan Dapil sesuai prinsip hukum; dan pengawasan kepatuhan terhadap prinsip kesetaraan nilai suara.
"Literasi data menjadi pintu masuk untuk memastikan bahwa perubahan desain Pemilu tidak menimbulkan ketidakpastian atau celah pelanggaran di lapangan. Ini adalah prasyarat kelembagaan bagi Bawaslu untuk merespons konsekuensi hukum Putusan MK tersebut secara efektif," ungkapnya kepada mahasiswa Universitas Jambis (Unja).
Koneksi antara data dan dinamika kepentingan kegiatan tersebut dirangkai dengan bedah buku Dinamika Pengawasan Pemilu: Peran Bawaslu dan Interaksi Kepentingan. Puadi menjelaskan bahwa literasi data dan bedah buku memiliki hubungan yang erat dan saling melengkapi.
"Literasi data menyediakan kerangka teknis-analitis untuk memahami pola. Bedah buku memberikan kerangka kontekstual-politik untuk mengerti mengapa pola tersebut muncul di tengah interaksi kepentingan aktor," katanya.
Buku tersebut menggambarkan tantangan nyata Bawaslu seperti akses data pemilih yang sulit, resistensi birokrasi, dan lemahnya alat bukti dalam kasus politik uang. Ini memperkuat pandangan bahwa data dan kepentingan aktor selalu berkelindan dalam pengawasan Pemilu.
Puadi menekankan bahwa literasi data bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi juga instrumen untuk membaca dinamika kekuasaan yang tergambar dalam buku tersebut.
Dalam penutupnya, Puadi berharap kegiatan seperti ini menjadi momentum untuk membangun ekosistem pengetahuan yang kuat antara Bawaslu dan perguruan tinggi. Tidak hanya itu dia juga ingin memperkuat komitmen bersama untuk mewujudkan pengawasan Pemilu yang adaptif, transparan, dan berintegritas.
"Literasi data tanpa pemahaman atas dinamika kepentingan bisa membuat pengawasan bersifat teknokratis. Sebaliknya, memahami dinamika kepentingan tanpa literasi data membuat kita sulit menyajikan pengawasan yang berbasis bukti dan empiris," tutup Puadi.
Fotografer: Bhakti Satrio
Editor: Hendi Poernawan