Submitted by Jaka Fajar on
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (keempat dari kanan) dalam Diskusi Penguatan Lembaga dan Kolaborasi Multipihak untuk Pendidikan Pemilih Berkelanjutan di Kantor KPU RI, Kamis (27/11/2025).

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menegaskan titik rawan yang semakin menonjol dalam penyelenggaraan Pemilu, mulai dari maraknya hoaks dan ujaran kebencian, politik uang, hingga pelanggaran netralitas aparat. Ancaman-ancaman ini, menurutnya, tidak dapat ditangani hanya dengan pendekatan penindakan.

 

“Sebagian besar kerawanan pemilu berasal dari rendahnya literasi politik dan budaya demokrasi. Tanpa pendidikan pemilih yang berkelanjutan, kita hanya akan menambal masalah yang berulang,” ujar Bagja dalam Diskusi Penguatan Lembaga dan Kolaborasi Multipihak untuk Pendidikan Pemilih Berkelanjutan di Kantor KPU RI, Kamis (27/11/2025).

 

Bagja juga menyoroti kelompok usia 17–39 tahun yang mencapai 56,45 persen pemilih pada Pemilu 2024. Meski menjadi mayoritas, menurutnya, mereka juga yang paling rentan terhadap hoaks, polarisasi digital, dan normalisasi politik uang.

 

“Generasi muda merupakan segmen strategis yang harus mendapatkan perhatian khusus. Mereka adalah digital native, tetapi tidak semua memiliki literasi politik digital yang memadai. Pendidikan pemilih harus adaptif, interaktif, dan dekat dengan dunia mereka,” jelasnya.

 

Ia mengungkapkan fakta bahwa hanya 37 persen masyarakat memahami kewenangan lembaga-lembaga negara hasil pemilu, berdasarkan survei LSI 2024. Kondisi ini, menurut Bagja, memperbesar ruang penyebaran misinformasi yang kerap memecah belah publik.

 

Bagja menjelaskan, Bawaslu telah memperkuat kerja sama dengan banyak lembaga, mulai dari Ombudsman, Kementerian Agama, Badan Siber dan Sandi Negara, Gerakan Pramuka, hingga perguruan tinggi besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjajaran. Dia melanjutkan, kolaborasi ini bertujuan memperluas jangkauan pendidikan pemilih sekaligus memperkuat pengawasan partisipatif di lapangan.

 

“Pemilu dengan partisipasi 80 persen tidak cukup. Kita butuh masyarakat yang bukan hanya datang ke TPS, tapi juga mengawasi proses pemilu secara kritis,” ungkap Bagja.

 

Ia mendorong pengembangan platform kolaborasi digital lintas lembaga untuk memantau kerawanan pemilu secara real-time serta memastikan edukasi politik dapat diakses secara luas dan berkesinambungan.

 

Menutup paparannya, Bagja menegaskan bahwa keberhasilan pemilu tidak hanya bergantung pada penyelenggara, tetapi pada kolaborasi luas seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah, aparat keamanan, media, dan institusi pendidikan.

 

Fotografer: Jaka Fajar

Editor: Dey