Jakarta, Badan Pengawas Pemilu - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan sistem proporsional daftar terbuka dengan mekanisme suara terbanyak perlu dievaluasi. Pasalnya problematika kerap muncul di balik berlakunya sistem proporsional daftar terbuka tersebut adalah mengakibatkan konflik antar calon anggota legislatif di dalam internal parpol dengan cara membeli dukungan dari para pemilih.
“Mengerasnya konflik antar calon hanya semata–mata bersaing memperebutkan suara konstituen dengan berbagai cara, termasuk membeli dukungan dari para pemilih. Menurut saya sistem proporsional secara terbuka perlu dievaluasi, “ ujarnya pada saat mempersentasikan hasil evaluasi Pemilu Legislatif 2014 dalam acara seminar Desain Pemilu Serentak 2019 di Gedung Auditorium LIPI, Senin (2/2).
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI tersebut mengungkapkan sistem pemilu yang sudah dilakukan sejak 2009 tersebut juga berdampak menjamurnya politik uang secara massif yang dilakukan para caleg dalam meraih dukungan sebesar – besarnya dalam Pileg 2014 lalu.
“Semakin kerasnya konflik antar caleg didalam internal ini adalah konsekuensi logis dari pada sistem pemilu yang membuka peluang besar bagi para caleg untuk bersaing secara tidak sehat di antara mereka,” ujarnya
Menurut Haris, problemnya adalah kerangka hukum tidak mengantisipasi lebih jauh persoalan yang berakar pada pilihan sistem tersebut. Sementara itu, praktik politik uang yang semakin massif namun kasusnya tidak pernah ke ranah hukum yang bersumber pada lemahnya aturan main dan sanksi bagi para pelaku pelanggar hukum pemilu.
“Adanya celah pihak – pihak kepentingan untuk menyalahgunakan peraturan didalam penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Lanjutnya, peroblm lain adalah lemahnya kedudukan Bawaslu dan jajaranya seperti Panwaslu dalam menyelesaikan perselisian dan pelanggaran pemilu, sementara pada saat yang sama tidak ada peradilan khusus pemeilu yang menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran, baik yang dilaporkan oleh masyarakat, caleg dan parpol maupun oleh lembaga pengawas pemilu itu sendiri.
Kelemahan yang berulang tersebut muncul kembali di dalam UU pemilu tergambarnya dari pasal dan ayat dalam UU yang bersifat multitafsir atau yang di tafsirkan cenderung berbeda diantara para pemangku kepentingan.
“KPU selaku penyelenggara pemilu tidak memliki otoritas untuk menafsirkan amanat UU Pemilu, sehingga tidak mengherankan jika peraturan atau ketentuan yang diterbitkan oleh KPU akhirnya menjadi tafsir baru atas perangkat hukum yang ada,” ujarnya.
Penulis : Hendru Wijaya
Editor : Falcao Silaban