Jakarta, Badan Pengawas Pemilu – Sistem proporsional terbuka yang dinilai mampu memperkuat sistem demokrasi di berbagai aspek, pada kenyataanya adalah sebaliknya. Sistem tersebut justru menghambat penguatan sistem demokrasi itu sendiri. Yang diuntungkan adalah calon yang memiliki popularitas yag tinggi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pimpinan Bawaslu Nelson Simanjuntak dalam pertemuanya dengan Internasional Foudation for Electoral System (IFES), pada saat audiensi terkait persoalan sistem proporsional terbuka yang diterapkan pada Pemilu tahun 2014, Selasa (20/1).
Nelson menilai, apabila diberlakukannya sistem pemilu proposional terbuka dari beberapa aspeknya justru dalam implementasi sistem ini akan menghambat penguatan demokrasi Indonesia. Menurutnya sistem proporsional terbuka, akan berdampak hanya orang-orang yang cukup dikenal masyarakat atau dikenal konsituennya yang akan terpilih, bukan dari representasi calon yang diusung partai politik.
“Didalam partai politik tidak secara langsung ditentukan siapa calon yang diusung oleh di iternal partai politiknya, ini tergantung seberapa besar kepentingan di internal partainya. Oleh karena itu, yang diuntungkan hanyalah orang yang mempunyai tingkat popularitas di masyarakat,” ujarnya
Menurut Nelson apabila sistem proporsional terbuka akan terus dilakukan akan menghambat penguatan demokrasi dan menjadikan partai politik hanya sebagai alat bagi caleg. Maka, faktor pencitraan dan popularitas dari setiap caleg akan sangat menonjol pada sistem ini.
“Maraknya para artis yang maju sebagai calon legislatif hanya untuk pencitraan seorang tokoh di berbagai media massa,” ujarnya
Persoalan lain yang diungkapkan adalah menjawab pertanyaan oleh Chief Of Party IFES asal Ukraine David Ennis ketika menanyakan persoalan Pidana Pemilu yang ditangani oleh Bawaslu ketika pemilu Legislatif dan Presiden di tahun 2014.
Nelson mengungkapkan banyak dari beberapa pelanggaran kampanye masih bersifat kompleks. Permasalahanya, belum adanya ketegasan hukum didalam menangani pidana pemilu yang melibatkan unsur Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Hal ini disebabkan, pada waktu melakukan penyelesaian pidana pemilu yang diserahkan ke kepolisian masih belum ada ketegasan hukum.
“Undang-Undang pemilu yang belum jelas, akibatnya beberapa pihak dalam melakukan penyelesaian pidana pemilu masih berbeda frame hukum, ditambah dengan durasi waktu yang sedikit,” ujarnya.
Menurut Nelson, ada 6 solusi terbaik untuk persoalan pemilu adalah pertama, diperjelasnya undang-undang yang tidak mengakibatkan multitafsir. Kedua diberikannya batas waktu yang proporsional dalam melakukan penyelesaian pidana pemilu. Ketiga, adanya peraturan yang jelas tentang pembelanjaan dana kampanye. Keempat proses rekrutmen kader politik tidak memanfataatkan popularitas belaka. Kelima, kerangka hukum pemilu. Keenam, penyelenggara pemilu yang harus professional dan pemilih yang cerdas.
Penulis : Hendru Wijaya
Editor : Falcao Silaban