Jakarta, Badan Pengawas Pemilu – Pemilu dan Pilkada sejatinya adalah milik masyarakat, bukan milik penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, partai politik, atau bahkan pemerintah. Hal tersebut dikatakan Ketua Bawaslu RI Muhammad saat menyampaikan materinya dalam acara Sosialisasi Kewenangan Baru Bawaslu terkait Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dalam Pilkada 2017, di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Jumat (3/2).
Muhammad mengatakan, Pemilu adalah hajatan rakyat dan kepentingan rakyat selaku pemilih. Kepentingan rakyat ini, sambungnya, harus dijaga dengan memposisikan rakyat sebaik-baiknya. Karena rakyatlah yang menentukan baik dan buruknya hasil Pilkada.
“Pemilu dan Pilkada tidak boleh eksklusif, seakan-akan Pemilu dan Pilkada milik partai politik, milik pasangan calon, atau milik penyelenggara. Pilkada harus inklusif demi kepentingan rakyat," ujar Muhammad.
Menurut Muhammad kegiatan sosialisasi tentang kewenangan baru Bawaslu dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016 ini sangat penting. Dengan diadakannya soialisasi seperti ini rakyat jadi tahu tentang Pemilu. Semua orang paling tidak, punya kepedulian terhadap pemilu dan pengawasan pemilu. Minimal rakyat paham tentang Pemilu dan regulasinya seperti apa.
"Dengan demikian, rakyat bisa berkontribusi terhadap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas, fungsi, dan profesinya masing-masing," jelasnya.
Kegiatan sosialisasi ini mengundang 25 dosen dari 25 perguruan tinggi se-Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Menurut Muhammad dengan melibatkan perguruan tinggi dan pemantau pemilu dalam kegiatan sosialisasi ini tentu merupakan langkah yang tepat.
Karena, kata Muhammad, posisi perguruan tinggi sangat strategis.
"Sekarang ini badan publik yang masih dipercaya adalah perguruan tinggi. Dari sejumlah riset penelitian, perguruan tinggi diposisikan sebagai institusi yang dinilai memiliki kepercayaan yang tinggi dari masyarakat," ujarnya.
Bukan tanpa sebab, lanjut dia, contohnya kalau dosen atau mahasiswa yang berbicara di media apapun, masyarakat selalu melihat dan mendengar lalu dijadikan referensi. Oleh karena itu, Bawaslu menaruh harapan pada perguruan tinggi untuk menjelaskan ke masyarakat luas tentang jalannya proses Pemilu dan Pilkada ini.
Selain itu, Guru Besar Unhas Makassar ini memaparkan hasil evaluasi Bawaslu pada Pileg dan Pilpres 2014 serta Pilkada serentak periode pertama pada 2015. Menurut Muhammad, jika ingin Pilkada 2017 di 101 daerah ingin berlangsung demokratis tentu bisa diumpamakan seperti shalat wajib bagi umat Islam. Misalkan, kalau kita menganggap shalat hanya sebagai kewajiban maka kadang-kadang khusyuknya terabaikan. Yang harus kita ubah, jadikan shalat itu sebagai kebutuhan. Kita butuh dengan shalat, bukan shalat yang butuh kita.
"Pemilu dan Pilkada juga dianalogikan seperti itu. Kalau kita menganggap Pemilu dan Pilkada hanya rutinitas lima tahun sekali, maka kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang berarti dalam proses perbaikan demokrasi kita. Pola pikirnya harus diubah," pungkasnya.
Penulis/Foto: Irwan
Editor: Pratiwi