• English
  • Bahasa Indonesia

Urgensi Penyederhanaan Sistem Kepartaian

Jakarta, Badan Pengawas Pemilu - Partai Politik (Parpol) merupakan salah satu pilar demokrasi.  Namun keberadaan Parpol ini justru menimbulkan berbagai problematika dalam sistem kepemiluan dan kaitannya dengan sistem kepartaian Indonesia.

 

Dikatakan Prof Syamsuddin Haris, Professor Riset LIPI, Parpol ini terbentur pada persoalan platform (ideologi, visi, dan haluan) yang tidak jelas dan tidak dirumuskan secara spesifik. Tidak hanya itu, kecenderungan Parpol yang juga hanya bekerja menjelang Pemilu juga menyebabkan penguatan Parpol kurang terbangun, begitupun dengan tidak adanya upaya Parpol untuk memiliki basis sosial yang jelas dan segmen pemilih yang spesifik.

 

“Persoalan lainnya, Parpol juga terbentur pada persoalan kepemimpinan yang lebih personal-oligarkis daripada institusional-demokratis, masalah keterwakilan yang tidak menjadi ‘jembatan’ bagi masyarakat kepada pemerintah, persoalan kaderisasi,hubungan relasi dengan konstituen, dan moralitas,” katanya.

 

Dalam Kajian Kepartaian yang digelar Bawaslu RI di Ruang Rapat Lantai 4 Gedung Bawaslu, Senin (29/6), Prof Syamsuddin juga menjelaskan bahwa banyaknya jumlah Parpol di Indonesia lebih mencerminkan fragmentasi kepentingan jangka pendek para politisi daripada polarisasi ideologis yang bersifat jangka panjang.

 

“Akibatnya sistem kepartaian yang berlaku belum memberikan kontribusi dan insentif bagi efektifitas dan produktifitas sistem politik demokrasi presidensial. Seharusnya ada upaya yang serius dan konsisten dari para elit Parpol untuk melembagakan sistem multipartai sederhana sebagai prasyarat efektifitas sistem pemerintahan presidensial,” jelas Prof Syamsuddin.

 

Penyederhanaan partai ini, lanjutnya, tidak hanya dalam jumlah melainkan juga secara ideologis. “Konsistensi penyederhanaan sistem kepartaian melalui mekanisme parliamentary threshold yang membatasi jumlah Parpol di parlemen. Untuk penyederhanaan ini perlu penataan menyeluruh terhadap skema dan waktu penyelenggaraan Pemilu,” katanya.

 

Menanggapi hal tersebut, Rahmat Hollyson, birokrat yang juga menjadi panelis dalam kajian ini mempersoalkan apakah efektif jika adanya pembatasan Parpol di parlemen. Menurut Prof Syamsuddin, parliamentary threshold merupakan suatu kebutuhan. “Semakin banyak Parpol di parlemen maka semakin tidak efektif karena berakibat akan semakin banyak pandangan dalam menentukan keputusan yang diambil,” ujarnya.

 

Sementara Muchamad Ali Safaat, Ahli Hukum Tata Negara, menegaskan hal tersebut dapat diterapkan dengan mekanisme pembubaran terhadap Parpol yang gagal memperoleh kursi di parlemen. “Parpol yang gagal hanya dapat berperan di sektor pinggiran seperti halnya kelompok masyarakat lain yang pendapatnya dapat dilihat sebagai bagian dari aspirasi masyarakat,” tegasnya.

 

Ia juga mengatakan, Parpol sesungguhnya merupakan badan hukum publik karena Parpol menjalankan sebagian fungsi negara. “Bahkan secara konstitusional, Parpol dapat disebut sebagai organ konstitusi karena memiliki hak dan kewenangan tertentu yang diatur UUD 1945,” katanya.

 

Turut hadir menjadi pembicara dalam kajian ini, yakni Peneliti Bidang Hukum Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan dan anggota DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa. Rahmat Hollyson (birokrat) dan Muhammad Mulyadi (birokrat) juga turut hadir sebagai panelis diskusi.

Penulis: Pratiwi Eka Putri

Foto    : Abdul Hamid Idrus

Editor : Ali Imron

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu