Makassar, Badan Pengawas Pemilu- Tiga pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia menghasilkan partisipasi pemilih yang terus menurun, 93,3 % pada Pemilu 1999, 84,9 % pada Pemilu 2004, 70,9 % pada Pemilu 2009 dan pada Pemilu 2014 hanya 75,11 % .
Menurunnya partisipasi pemilih ini menurut lembaga ilmu pengetahuan dan riset dalam penelitian di bidang politik dan Pemilu dikarenakan kita terlalu sering menyelenggarakan Pemilu atau masyarakat mulai jenuh karena terlalu sering menjalani Pemilu. Akhirnya disederhanakanlah dengan melakukan pemilihan anggota legislatif (DPR) dan Presiden secara bersamaan. Sehingga sekarang ini kita akan melakukan Pilkada serentak dan hal ini adalah upaya menyederhanakan Pemilu yang merupakan hal baru dalam sejarah Pemilu di Indonesia.
Hal ini disampaikan Ketua Bawaslu RI Muhammad dalam kuliah umum mengenai Penguatan Sistem dan Regulasi Pemilu Dalam Menopang Pembangunan Politik Yang Demokratis di hadapan mahasiswa pasca sarjana dan mahasiswa strata satu Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Senin (5/10) yang dibuka Ketua program Studi Fisip Unhas, Prof. Muh. Kausar Bailusy, M.A. dan dihadiri Pembantu Dekan Fisip Unhas Dr. Gustiana A. Kambo, SIP.,M.Si.
Muhammad juga menyinggung tentang calon perseorangan yang merupakan buah dari reformasi. Sebelum ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) syarat perseorangan dibuat susah karena calon perseorangan diharuskan mengumpulkan suara 3,5 % dari jumlah daftar pemilih, 30% dari jumlah penduduk. Hal ini dibuat menjadi susah karena boleh jadi calon dari perseorangan adalah orang - orang yang berkapasitas tapi karena keterbatasan dana mereka tidak mampu mencalonkan diri melalui jalur partai.
Sementara ada beberapa calon dari partai walaupun dia tidak terlalu mumpuni kapasitasnya tapi punya duit untuk masuk menjadi calon gubernur dan walikota. Dengan adanya Keputusan MK belum lama ini mengurangi atau memberi peluang lebih longgar syaratnya sehingga orang orang hebat di Indonesia diharapkan bisa berkompetisi.
Implikasi keputusan MK Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota telah memperingan syarat calon independen. Artinya MK secara substansial mendorong calon independen ikut mencalonkan di Pilkada atau semakin membuka peluang calon independen untuk maju.
Selanjutnya, Muhammad yang juga guru besar ilmu sosial dan politik ini mengemukakan bahwa semua undang - undang pasti memiliki celah. Karena sekali lagi undang - undang itu disusun bukan dengan semangat menggali kepentingan masyarakat tetapi lebih banyak berperan untuk mengakomodir kepentingan partai politik, kepentingan kelompok, pengusaha,atau kepentingan pemilik modal. “Kalau saja undang - undang dibuat hanya berbasis untuk kepentingan rakyat melalui wakil rakyat dipastikan tensi saat berkonflik senantiasa akan mendahulukan kepentingan rakyat, ujarnya.
Untuk itulah guna menuju penguatan sistem politik yang demokratis ini juga akan menjadi tugas perguruan tinggi dengan cara bagaimana memberikan proses pendidikan politik yang baik dan benar. Masyarakat harus tahu hak dan kewajibannya dalam Pemilu seperti apa, jangan hanya karena godaan sesaat 5 tahun, kemudian suara kita akan dinilai dengan sangat murah, imbuh Muhammad.
Kepada mahasiswa Ketua Bawaslu RI juga menitipkan pesan bahwa kewajiban mahasiswa belajar dan menyelesaikan kuliahnya, namun kuliah tidak akan sempurna tanpa dilengkapi dengan berorganisasi. “Berorganisasi itu penting, karena menjadi seorang yang memiliki IPK 4 tanpa kemampuan untuk mengeksplorasi kepada masyarakat menjadi tidak paripurna. Kita dibutuhkan oleh publik, laboratorium kita adalah masyarakat. Jadi kita harus hebat di IPK tetapi juga hebat juga dalam bersosialisasi di masyarakat, tutupnya.
Penulis/Foto: Nurmalawati Pulubuhu
Editor : Ali Imron