• English
  • Bahasa Indonesia

Nasrullah: Pelaku Politik Uang Bisa Dijerat Lewat Sanksi Etik

Jakarta, Badan Pengawas Pemilu – Mengingat lemahnya pengaturan terkait politik uang dalam undang-undang tentang Pilkada, Pimpinan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Nasrullah mengatakan perlu ada terobosan baru untuk meminimalisir terjadinya politik uang dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015 mendatang. Apabila dalam praktiknya tidak bisa dijerat dengan sanksi pidana, maka diusulkan agar  pelaku politik uang dapat juga dikenakan sanksi etik yang hukumannya adalah pembatalan sebagai peserta pilkada.

 

“Harus kita akui bahwa praktek politik uang pasti terjadi, hanya bagaimana cara meminimalisir praktek praktek seperti itu? Dihadapan mata kita sekarang ini, hukum positif tidak bisa menegakkan praktek politik uang. Pertama contohnya di UU Nomor 1 Tahun 2015 dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada semua mengalami kekosongan hukum, bagi yang melakukan praktek politik uang sanksinya diskualifikasi tetapi mau mendiskualifikasi dengan apa, bukankah di UU tersebut tidak ada sanksi pidana bagi para pelaku. Yang kedua, para petahana yang melakukan mutasi jabatan dan memanfaatkan fasilitas negara itu juga sanksi diskualifikasi tetapi tidak ada pasal yang jadi rujukan” ujarnya saat audiensi dengan perwakilan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Selasa (30/6).

 

Kesimpulan dari kajian yang dilakukan, kata dia, praktik politik uang merupakan cikal bakal korupsi. “Cara mencegahnya jika hukum tidak mampu, maka gunakan pendekatan etik,” imbuihnya. Dia mengatakan berdasarkan pengalaman, pendekatan etik telah berhasil membatasi ruang etika bagi para penyelenggara yang berperilaku buruk. “Pertanyaannya kenapa peserta tidak bisa dietikkan. Jadi kami ingin peserta yang melanggar, sanksinya dibatalkan menjadi peserta dalam sidang etik bagi  yang terbukti melanggar etik,” tandasnya.

 

Untuk merealisasi hal tersebut, sambung Nasrullah, dibutuhkan lembaga yang bisa melakukan sidang etik kepada peserta pemilu. Dia menjelaskan, dalam ruang lingkup etik Indonesia telah memiliki Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berfungsi sebagai kontrol terhadap penyelenggara pemilu. Menurutnya kedepan, DKPP bisa dikembangkan menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu untuk bisa mengikat tidak hanya penyelenggara pemilu, melainkan seluruh aktor pemilu baik peserta, penyelenggara, dan pemilih.

 

Sementara itu, Iwan Hari Sugiharto selaku kepala kelompok kerja (kapokja) Program Monitoring Strategis Pelaksanaan Pilkada Serentak Wantannas, mengatakan bahwa hasil audiensi ini akan dijadikan bahan tulisan yang nantinya akan dilaporkan kepada Presiden.

 

"Kami dari Wantannas sedang mengumpulkan bahan yang nantinya akan dibuat tulisan sebagai laporan langsung kepada Presiden. Minggu kemarin kami audiensi dengan KPU, sekarang dengan Bawaslu, dan rencananya minggu depan dengan Kepolisian dan Kejaksaan", ujarnya dalam audiensi tersebut.

 

Dalam audiensi juga dibahas mengenai perkembangan berapa jumlah daerah yang sudah melakukan Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) pengawasan, daerah dengan kemungkinan mobilisasi pegawai negeri sipil, sentra penegakan hukum terpadu dan permasalahannya, dan aspek dukungan dari Pemerintah Daerah.

Penulis: Alfa Yusri

Editor: Haryo Sudrajat 

 

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu