• English
  • Bahasa Indonesia

Potensi Penyimpangan Reses DPR, DPD, dan DPRD di Pemilu 2014

altJakarta, Bawaslu– Ketua Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, kegiatan kunjungan kerja (kunker)  para anggota dewan ke daerah pemilihan (Dapil) untuk menyampaikan aspirasi atau berkomunikasi langsung dengan konstituen rawan penyimpangan, hal tersebut  lantaran kebanyakan anggota dewan yang masih aktif (incumbent) melakukan kunjungan resesnya untuk pemenangan Pemilu 2014.

"Sepanjang periode anggota dewan baik DPR maupun DPD tahun 2009-2014, banyak yang dikritik soal dana reses. Anggaran reses sangat besar, bahkan ada peningkatan signifikan dari tahun ke tahun, terlebih 2 tahun menjelang pemilu. Ini menjadi penting, kenapa peningkatan terjadi di 2 tahun jelang pemilu," ujar Ketua Indonesia Budget Center (IBC) dalam konferensi pers di Media Centre Bawaslu, Jakarta, Kamis (20/3).

Menurut Roy, masa reses merupakan dimana DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR. Misalnya untuk melakukan kunjungan kerja, baik yang dilakukan anggota secara perseorangan maupun secara berkelompok menggunakan biaya reses menelan anggaran yang tidak wajar di tahun pemilu.

"Total anggaran reses tahun 2014 mencapai Rp 994,92 miliar naik hingga 47% dibandingkan tahun 2013, dan naik 4 kali lipat 332% disbanding anggaran tahun 2010," ujaranya.

Lanjut Roy mengatakan, karena, besarnya anggaran yang diperuntukan untuk anggaran tersebut dikarenakan bertepatan dengan momentum reses dengan masa kampanye Pemilu Tahun 2014, godaan terhadap anggota Dewan terutama caleg incumbent membelanjakan dana reses untuk aktivitas kampanye mereka sangat tinggi mengingat Dana reses selama ini tidak dilaporkan kepada DPR dan lolos dari obyek audit BPK.

"Misal anggota DPR sebesar Rp 160,91 juta/per anggota atau 1 kali kunjungan reses di kuatirkan tidak seluruhnya di belanjakan untuk membiayai reses," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Formappi Lucius Karus, mengatakan adapun ditingkat DPR, permasalahan dalam reses meliputi, tidak terjalinya koordinasi anggota DPD saat reses, meskipun dalam satu wilayah yang sama, namun setiap kunjungan kedapil tiap tiap anggota DPD sudah memiliki angenda sendiri - sendiri sehingga hasil penyerapan aspirasi tidak maksimal.

"Tim pendukung anggota DPD baik yang ada di tinggkat pusat dan daerah belum memiliki garis koordinasi yang jelas," ujarnya

Lucius mencatat setiap anggota DPD memiliki 4 orang staff pendukung yang bekerja di dapil, namun bekrja pada saat kunjungan anggota kedapil baik saat reses dan tidak pada saat reses sehingga belum banyak berkontribusi terhadap peningkatan kerja anggota didapil.

Selain itu, dalam melaksanakan penyerapan aspirasi belum dibekali dengan panduan reses sehingga sering kali reses dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang dan tidak terdokumentasi dengan baik. Bahkan dalam reses setiap anggota DPD memiliki kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban reses kepada konstituen termasuk dalam hal penggunaan anggaran.

"Pertanggung jawaban reses oleh anggota hampir tidak ada," ujarnya

Lucius menambahkan, banyak hasil reses yang biasanya dibuat dalam bentuk laporan lembaga DPD ditetapkan dalam rapat paripurna DPD hampir tidak terpublikasi terhadap hasil reses yang sampai kembali ke konstituen.

"Terpublikasi pun tidak, padahal hasil konstituen tersebut sampai ke konstituen," ujarnya

Sementara itu ketua Komunitas Indonesia (KID) Untuk Demokrasi Ibeth Koesrini menilai dana reses untuk DPRD, menjadi potensi penyimpangan karena, Dana yang terlalu besar dan tak sebanding pencapaian. Besaran Dana reses yang berbeda tiap daerah bukan ukuran produktivitas anggota DPRD.

"Banyaknya kasus penyelewengan anggaran reses menunjukan fungsi alat ukur capaian hasil reses," ujarnya

Lanjut Ibeth mengatakan, banyaknya hasil pemeriksaan BPK yang tidak direspon ditinggkat DPRD, BPK menemukan banyaknya dugaan penyimpaangan Dana reses DPRD selama ini baru di inverifikasi oleh Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang wewenang dan sumber dananya masih terbatas. Sementara di tingkat daerah belum terbentuk Badan Akuntabilitas Kuangan Daerah (BAKD) sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK di wilayah kerja masing - masing.

"Kami dorong badan akuntabilitas keuangan supaya cepat direspon atau ditanggapi karena banyaknya penyimpangan dana reses ini, dewan sendiri tidak ada insiatif untuk bentuk panduan reses," ujarnya.

 

Penulis                       : Hendru Wijaya

Editor                         : Falcao Silaban

 

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Agenda Bawaslu

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu