• English
  • Bahasa Indonesia

PPATK : Transaksi Keuangan Mencurigakan Naik Menjelang Pemilu

Bengkulu, Badan Pengawas Pemilu -- Direktur Pemeriksaan dan Riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mengatakan, selalu ada korelasi positif antara proses politik dengan transaksi keuangan mencurigakan. Tren kenaikan transaksi keuangan dan transaksi keuangan mencurigakan menurutnya selalu terjadi pada saat menjelang pemilu.

"Ada tren kenaikan (transaksi keuangan mencurigakan) saat menjelang pemilu. Tidak ada dalam sejarah, tren kenaikan di luar periode pemilu," kata Ivan dalam diskusi pada Rapat Koordinasi Stakeholders dalam Rangka Pendidikan Pengawasan Partifisipatif Pilkada 2015 yang diadakan Bawaslu, di Hotel Santika, Bengkulu, Senin (26/5).

Menurut Ivan, proses pemilu maupun pilkada merupakan proses penggerakan uang. Setidaknya, terjadi kenaikan transaksi keuangan hingga 145 persen saat menjelang pemilu.

Pada pemilu legislatif 2014 lalu, lanjut Ivan, PPATK menerima 1.020 nama dari 18 Bawaslu Provinsi. Dari 1.020 nama tersebut, sebanyak 339 nama terdapat dalam laporan PPATK sebagai nama yang diduga memiliki laporan transaksi mencurigakan.

"Ini baru dari 18 Bawaslu saja, belum semuanya. Mereka ini yang kemarin ikut kontestasi," ujarnya.

Sementara untuk pemilihan kepala daerah, PPATK juga memiliki catatan tersendiri. PPATK menerima 29 laporan terkait pemilihan gubernur dan 95 nama terkait pemilihan bupati/walikota.

Kecenderungan jumlah transaksi mencurigakan tersebut, Ivan meneruskan, sangat bervariasi. Untuk pemilihan gubernur atau bupati/walikota, menurutnya kenaikan transaksi terjadi saat tahapan kampanye. Setelah terpilih, grafik transaksi kembali turun.

Sedangkan untuk pemilihan legislatif, kenaikan transaksi justru terjadi setelah terpilih. "Misalnya kalau pilgub saat pencalonan rekeningnya Rp 5 miliar, saat kampanye naik jadi Rp 8 miliar, sudah terpilih turun lagi. Kalau pileg, sesudah terpilih malah terjadi kenaikan transaksi," ungkapnya.

Pimpinan Bawaslu RI Nasrullah pada kesempatan yang sama mengatakan, transaksi keuangan mecurigakan tidak terlepas dari pragmatisme politik. KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu dan pilkada menurutnya melakukan upaya paling maksimal untuk menekan politik uang.

Hanya saja, lanjut Nasrullah, KPU dan Bawaslu kerap kali tersandung regulasi yang ada. Misalnya saja pelaksanaan pilkada serentak yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2015. Dalam UU tersebut, tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran pidana pemilu.

"Yang kami sayangkan inisiasi pembuat UU untuk menciptakan produk hukum untuk menindak dan menghukum. Faktanya banyak ketentuan dalam UU 8/2015 punya sanksi administrasi tapi tidak disertai sanksi pidana," kata Nasrullah.

Meski begitu, menurut dia Bawaslu tidak akan patah arang untuk menegakkan hukum pemilu. Bawaslu beserta jajaran berencana menggunakan Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi "Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

"Kita tidak boleh lengah, harus cari cara agar penegakan hukum tidak hampa. Tidak mungkin kita membiarkan praktik yang bisa merusak bangsa," ujar Nasrullah.

Penulis : Ira Sasmita

Foto : Ali Imron

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu