• English
  • Bahasa Indonesia

Politik Uang Bisa Jadikan Pilkada Minus Kandidat Berkualitas

Sukabumi, Badan Pengawas Pemilu – Praktik politik uang dalam proses rekrutmen pemimpin seperti di pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (pilkada) dinilai kian mengkhawatirkan. Cara curang dari peserta pilkada yang terkadang justru dinanti oleh para pemilih itu, dinilai merusak sendi demokrasi Indonesia. Apabila kedepannya uang menjadi faktor penentu keterpilihan dimana politik uang makin merajalela dan pemilih makin pragmatis, bukan tidak mungkin kedepannya tokoh yang baik dan berkualitas akan enggan berkontestasi dalam pilkada.

"Tragisnya, kondisi psikologis masyarakat kita melihat kontestan memberikan uang kepada pemilih itu sudah hal yang lumrah, bukan hal yang jahat. Bahkan tokoh agama, tokoh masyarakat di pedesaan ikut juga mencederai proses pemilu dengan bermain politik uang. Ini harus kita cegah. Kalau tidak maka dapat dipastikan yang akan terpilih menjadi kepala daerah adalah orang-orang yang mampu memberikan uang,” kata Pimpinan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Nelson Simanjuntak dalam Sosialisasi Tatap Muka dengan Stakeholders dan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (19/5).

Dia mengatakan praktik membagi-bagikan uang kepada pemilih merupakan bentuk kecurangan yang sangat mengganggu proses pemilu. Menurut Nelson, kontestan atau partai politik merupakan aktor yang memicu terjadinya kecurangan tersebut.

"Tidak mungkin masyarakat melakukan pelanggaran kalau tidak diinisiasi oleh peserta pemilu. Yang berkepentingan adalah parpol peserta pemilu itu sendiri untuk memenangkan kontestasi,” ujarnya.

Nelson mengatakan Bawaslu bakal mengawasi kandidat serta mensosialisasikan terkait praktik terlarang politik uang kepada masyarakat. Menurutnya perlu ada pemahaman yang utuh mengenai dampak ketika seorang pemimpin terpilih dengan cara curang seperti politik uang. Dia meyakini, kepala daerah terpilih yang gunakan cara tersebut tidak akan mulus jalankan tugasnya.

"Ia mempunyai beban yang terlalu berat sehingga berjanji mengembalikan uang tersebut ke cukong-cukongnya. Caranya, membalas budi dengan mempekerjakan konsesi sumber daya tertentu. Akhirnya, pembagian sumber daya atau alokasi sumber daya pada masyarakat akan menjadi sangat timpang,” jelas Nelson.

Selain hal diatas, kepala daerah itu juga berpotensi melakukan korupsi untuk mengembalikan uang yang dihabiskan saat pemilihan. Berdasarkan data Kemendagri, hingga Januari 2014 ada 300-an kepala daerah yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian karena melakukan korupsi. Diduga mereka berurusan dengan itu karena membagi-bagikan uang kepada masyarakat saat pilkada.

"Ini harus bisa kita cegah, supaya tidak terjadi terus menerus. Karena dampak selanjutnya, tidak ada lagi orang berkualitas yang berani menjadi Kepala Daerah," katanya.

Sementara itu, pada acara sosialisasi di Depok, Jawa Barat, Pimpinan Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Yusuf Kurnia menjelaskan bahwa praktek politik uang sekarang sudah makin berkembang. Tidak hanya uang cash, namun juga dalam bentuk voucer pulsa maupun lewat pola asuransi. Menurut dia praktik politik uang mengikuti tren kebutuhan publik.

Penulis: Anastasia Ratri

Editor : Haryo Sudrajat

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu