• English
  • Bahasa Indonesia

Bawaslu Terganjal Kewenangan

Semarang, Bawaslu Jateng -  Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) terganjal kewenangan dalam penegakan hukum pemilihan umum (Pemilu). Akibatnya, pelanggaran pemilu kian marak dari periode ke periode  Pemilu 2014 mencapai angka pelanggaran tertinggi.

Hal itu mengemuka dalam rapat koordinasi evaluasi pengawasan tahapan Pemilu 2014 di Semarang, Selasa (9/9) yang diikuti oleh para aktifis LSM/ NGO, Ormas, Badan Eksekutif Mahasiswa, Pelajar dan Para Relawan Pemilu 2014. Acara tersebut menghadirkan nara sumber Pimred Harian Suara Merdeka Jawa Tengah Amir Machmud, Peneliti Pemilu dan mantan Anggota KPU Jawa Tengah Andreas Pandiangan dan Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Jawa Tengah Teguh Puromo.

Dalam rapat koordinasi yang di buka oleh Ketua Bawaslu Jateng Abhan dan di moderatori oleh Koordinator Divisi Kelembagaan dan SDM Bawaslu Jateng Juhana juga terungkap bahwa Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tahun 1999 didapati 62 kasus politik uang, tahun 2004 sebanyak 113, tahun 2009 sebanyak 150 dan tahun 2014 melonjak menjadi 313 kasus.

Catatan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang dihimpun dari berbagai sumber menyebut ada 3.238 pelanggaran administrasi dalam pemilu 2014. Padahal, tahun 2009 hanya 619 pelanggaran administrasi. Sementara untuk tindak pidana pemilu tahun 2014 mencapai 209 kasus, yang pada 2009 hanya 138 kasus.

“Dalam catatan kami, kasus yang paling banyak terjadi adalah pelanggaran politik uang yang mencapai 52 persen. Dan itu paling disorot media,” kata Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Jawa Tengah Teguh Purnomo.

Pelanggaran lain yang juga dicatat Bawaslu dari pemberitaan media adalah penggelembungan suara, mencapai 18 persen. Pemilu ulang mencapai 12 persen, pelanggaran kode etik dan penghitungan ulang masing-masing mencapai sembilan persen.

Jumlah gugatan ke Mahkamah Konstitusi mencapai 767, meningkat dari tahun 2009 sebesar 657 perkara. “Pemilu 2014 ini bisa dikatakan pemilu paling brutal. Kampanye hitam pada pemilihan presiden marak,” kata Andreas Pandiangan dari Lembaga Pengembangan Demokrasi dan Kepemiluan.

Sementara, pengawas pemilu hanya berperan sebagai perantara yang menerima dan meneruskan laporan dugaan pelanggaran kepada Komisis Pemilihan Umum (KPU). Pelanggaran itu adalah pelanggaran administrasi dan kepada kepolisian untuk pelanggaran pidana.

Pada evaluasi kemarin terungkap bahwa seringkali pengawas tidak meneruskan laporan kepada KPU maupun kepolisian. Karena alasan kedekatan dengan penyelenggara yang diawasi.

“Di sisi lain, saya akui juga bahwa pengawas kurang memiliki kemampuan merangkai sebuah laporan peristiwa menjadi sebuah kejadian hukum seperti halnya penyidik kepolisian dan kejaksaan,” kata Teguh. Menurutnya, Undang-Undang 42 tahun 2009 perlu direvisi ke arah penguatan posisi Bawaslu.

Sedangkan menurut Andreas, perlu penguatan sumber daya manusia yang ditunjuk sebagai pengawas Bawaslu. “Harus ada peningkatan kapasitas SDM pengawas. Diantaranya, memahami tugas dan kepentingan penyelenggara dan menganalisa kelompok kepentingan,” kata Andreas.

Amir Machmud dari Suara Merdeka lebih menekankan pada pentingnya peran media dalam memberitakan persitiwa terkait dengan peran pengawas dalam mengawal Pemilu 2014. “Keterbatasan yang ada pada pengawas akibat dari kewenangan yang diatur dalam undang-undang dapat dibantu dengan pemberitaan, sehingga walaupun pelaku kasusnya sulit sampai di peradilan Pemilu, namun akan mendapatkan sanksi sosial, karena apa yang dilakukannya akan diketahui oleh publik melalui media”, tambah Amir.

 

Penulis           : Humas Bawaslu Jateng

Editor             : Falcao Silaban

Share

Informasi Publik

 

Regulasi

 

Pendaftaran Pemantau

 

Forum

 

SIGAPLapor

 

 

Whistleblowing System

 

Helpdesk Keuangan

 

SIPS

 

SAKIP

 

Sipeka Bawaslu

 

SIPP Bawaslu

 

Simpeg Bawaslu

Si Jari Hubal Bawaslu

 

 

 

 

Video Bawaslu

newSIPS 2019
newSIPS 2019

Mars Bawaslu

Mars Pengawas PEMILU +text
Mars Pengawas PEMILU +text

Zona Integritas Bawaslu